JAKARTA – Peristiwa merger dan akuisisi antar-lembaga jasa keuangan bank diproyeksikan kembali marak pada tahun ini. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, mengatakan era konsolidasi perbankan berlanjut karena kian ketatnya persaingan. “Apalagi sekarang eranya digitalisasi, kebutuhan modal harus semakin kuat,” ujar dia, kemarin. Otoritas pun terus berupaya mendorong konsolidasi dengan menaikkan modal inti bank menjadi minimal Rp 3 triliun pada 2022.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020, yang mengharuskan bank memiliki modal inti minimum sebesar Rp 2 triliun pada akhir 2021 dan minimum Rp 3 triliun pada akhir 2022. Wimboh meminta bank yang merasa tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut mencari mitra strategis. “Apabila bisa memenuhi sendiri, ya, silakan. Tapi permodalan ini sesuatu yang dinamis karena kompetisi semakin berat.” Bank yang tidak memenuhi syarat modal tersebut, menurut dia, akan turun kelas menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Sepanjang 2020 terdapat empat bank umum yang melakukan akuisisi dan 29 BPR melakukan merger. “Ini akan dilanjutkan pada 2021 dengan (OJK) memberikan kemudahan dan percepatan perizinan, serta dukungan peraturan untuk meningkatkan permodalan minimum,” ucap Wimboh. Mengingat makin pentingnya konsolidasi, OJK mengimbau perbankan untuk menyiapkan rencana strategis, termasuk mulai melakukan penilaian dan mencari calon investor. “Kami minta rencana awal dulu, bagaimana upaya memenuhi ketentuan modal. Kalau tidak bisa, kami mengundang investor.”
Gedung Bank Bukopin di Jakarta, 18 Juni 2020. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional, Aviliani, mengungkapkan konsolidasi akan banyak dilakukan oleh bank-bank kategori permodalan BUKU 2 (modal inti Rp 1-5 triliun). “Bank BUKU 1 kebanyakan sudah diakuisisi oleh bank-bank besar. Sementara bank BUKU 2 tengah melakukan pendekatan untuk merger, akuisisi, atau menjadi bagian dari bank atau lembaga non-bank.” Menurut Aviliani, untuk menjamin kelancaran proses upaya konsolidasi, OJK perlu membantu perbankan dalam mencari mitra bisnis.
Perihal investor yang berpotensi melakukan akuisisi, Aviliani mengungkapkan, masih akan diramaikan oleh investor lokal. Pasalnya, karakteristik bank kecil dan menengah cocok dengan preferensi investor lokal. “Investor asing cenderung memilih bank yang sudah mapan ketika ingin melakukan akuisisi,” tutur Aviliani.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar tren konsolidasi tidak terelakkan di tengah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Tekanan kinerja, pengetatan likuiditas, dan kenaikan biaya operasional akan membuat bank mempertimbangkan opsi konsolidasi. “Bank-bank dengan kinerja yang lemah akan menjadi target akuisisi, investor juga melihat ini sebagai waktunya membeli,” Bhima menyebutkan.
Tak hanya melulu dicaplok oleh sesama bank, konsolidasi perbankan juga diproyeksikan meluas hingga ke industri jasa non-keuangan. “Banyak perusahaan unicorn dan start-up yang berburu bank-bank murah untuk melengkapi ekosistem digital mereka. Sekarang memang sedang menuju fase neo-bank,” ujarnya.
Sementara itu, tren konglomerasi jasa keuangan diperkirakan akan kian mengerucut pada tahun ini. Berdasarkan data OJK hingga akhir 2020, konglomerasi jasa keuangan menguasai 63,6 persen aset industri keuangan nasional. Bhima mengatakan, konglomerasi yang terbentuk banyak mengarah ke konglomerasi internasional. “Grup-grup keuangan asing lebih agresif karena memiliki bantalan risiko yang lebih baik.”
***