Syarif Rousyan Fikri sedang mengikuti program doktoral di Nanyang Technological University, Singapura, ketika meluncurkan saluran YouTube yang berisi konten edukasi pada 2016. Dia mengembangkan saluran bernama Hujan Tanda Tanya alias Hutata itu bersama Mohammad Iksan, rekan lamanya. Keduanya tak menyangka bahwa di kemudian hari saluran yang dipakai untuk melatih keterampilan mengajar tersebut disukai banyak kalangan, bahkan menyabet penghargaan YouTube NextUp Indonesia 2017.
“Kami membuat konten seputar sains populer dengan cara yang santai dan interaktif,” ucap Rousyan, dilansir dari KRAsia edisi 5 Desember lalu.
Eks pelajar kelas akselerasi yang menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada usia 15 tahun itu mengatakan konten Hutata disambut warganet dari kalangan pelajar. Ulasan pemateri dalam setiap video yang ditayangkan dianggap menarik. Beberapa video menjadi sangat populer, seperti video mengenai alasan Indonesia rawan gempa bumi atau petunjuk cara kerja beberapa jenis mesin.
Kolom komentar Hutata pun dipenuhi permintaan soal topik baru dari penonton. Permintaan itu melonjak menjelang masa ujian sekolah. “Di situ kami sadar bahwa perpaduan antara sains, teknik mengajar, dan film bisa membantu siswa memahami mata pelajaran,” tutur Rousyan. Pengetahuan tersebut mengilhami Rousyan untuk membentuk usaha ruang belajar digital.
Rousyan kemudian memperkuat timnya dengan menggandeng Edria Albert, pengembang game asal Bandung. Pada 2018, perusahaan rintisan digital bernama Pahamify akhirnya lahir. Tapi butuh satu tahun bagi manajemen untuk meluncurkan aplikasi bidang pembelajaran tersebut ke publik.
Menurut Rousyan, tim Pahamify menyediakan tes praktik langsung untuk ujian nasional Indonesia, bank soal, sesi bimbingan langsung, serta materi daring lainnya. Aplikasi pun terus dikembangkan. Di antaranya, kini Pahamify menyediakan layanan bimbingan serta rekomendasi pilihan universitas dan jurusan kuliah.
Rousyan menjelaskan, perbedaan mendasar antara Pahamify dan perusahaan rintisan serupa, seperti Ruangguru atau Zenius, adalah pada penggunaan animasi dan gamification (penggunaan elemen permainan dalam materi belajar). “Semua konten kami produksi sendiri dan mengikuti standar kurikulum Indonesia,” kata dia.
Di tengah kebijakan sekolah dari rumah, fitur Pahamify otomatis banjir pengguna. Rousyan mengklaim jumlah pengguna aplikasi rintisannya tumbuh 50 kali lipat sepanjang tahun ini. Begitu pula dengan jumlah pelanggan berbayar, yang naik 10 kali lipat dibanding pada tahun lalu.
Pahamify menggunakan model bisnis freemium (menggratiskan layanan dasar) serupa layanan video on demand Netflix. Pengguna dapat menikmati pilihan video secara gratis, tapi harus berlangganan agar mendapat akses ke layanan premium. Satu sesi ujian praktik langsung, ucap Rousyan, dibanderol seharga Rp 20 ribu. Pengguna bisa mengambil layanan bulanan seharga Rp 40 ribu, atau paket tahunan seharga Rp 400 ribu.
Bukan kerja mudah bagi manajemen untuk meyakinkan orang tua guna mengalihkan gaya belajar konvensional anaknya ke mode daring. Ia mengakui Pahamify masih kesulitan mendongkrak angka pelanggan berbayar. “Para orang tua bersedia membayar les offline yang mahal, biasanya di atas Rp 15 juta per tahun. Tapi, kalau bicara les online, mereka ragu untuk mengeluarkan uang,” katanya.
Kucuran pendanaan baru senilai US$ 150 ribu atau sekitar Rp 2,1 miliar yang diterima tim Rousyan pada Maret 2020 menyokong target perluasan konten dan penambahan karyawan Pahamify. Modal segar dari Ycombinator itu melengkapi putaran pendanaan Seri A Pahamify dari Shunwei Capital, Insignia Venture Partners, serta Lien Family Office. Saat ini, tim mulai memburu pangsa siswa baru. “Kami berfokus pada pelajaran sekolah menengah karena banyak permintaan dari siswa SD dan SMP.”
YOHANES PASKALIS
PAHAMIFY: Kaya Ilmu dari Kelas Virtual
