JAKARTA – Revisi sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik. Anggota Ombudsman Republik Indonesia bidang Transportasi, Alvin Lie, mengatakan omnibus law yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada Senin lalu itu menghilangkan sejumlah aturan krusial. Salah satunya syarat kepemilikan lima unit pesawat bagi calon pemegang izin usaha maskapai niaga berjadwal. “Padahal dulu syarat itu dibuat untuk melindungi bisnis penerbangan,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Pasal 118 UU Penerbangan mengatur kesiapan pemilik modal yang ingin mendirikan maskapai penerbangan secara ketat. Dalam ayat kedua butir a aturan itu disebutkan angkutan udara niaga berjadwal harus bisa mengoperasikan minimal 10 unit armada dan wajib memiliki minimal lima unit di antaranya. Adapun angkutan niaga tidak berjadwal harus beroperasi dengan minimal dua unit pesawat dan memiliki satu di antaranya. Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan jumlah itu dihapus dan diganti dengan kalimat “memiliki pesawat dalam jumlah tertentu”.
Menurut Alvin, keleluasaan itu berpotensi mengundang badan usaha penerbangan baru yang hanya bermodalkan pesawat sewaan karena tak memiliki modal cukup untuk membeli armada. Bila kemampuan pendanaan maskapai tak diberi standar, kata dia, layanan yang diberikan pun bisa melemah. Hal itu belum diperparah oleh skema banting harga tiket untuk menjaring konsumen. “Kita bakal masuk pada era sebelum aturan yang baik dibuat,” tutur Alvin. “Akan banyak penerbangan delay karena pesawat rusak, atau maskapai tumbang tanpa bisa mengganti uang konsumen.”
Konsultan penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, mengungkapkan sisi negatif penghapusan sejumlah wewenang dalam UU Cipta Kerja. Contohnya adalah penghilangan Pasal 215 UU Penerbangan yang mengharuskan Kementerian Perhubungan berkoordinasi dengan pemerintah daerah sebelum mendirikan bandara.
Penghapusan ketentuan itu masih positif bila untuk memblokir proyek daerah yang prospeknya buruk. “Agar tak ada lagi seperti Bandara Kertajati yang sepi. Tapi ada kekhawatiran proyek investasi daerah yang sedang dikaji kelayakannya diambil alih Kementerian Perhubungan.”
Namun Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Denon Prawiraatmadja, optimistis aturan dalam UU Cipta Kerja akan mempermudah bisnis maskapai penerbangan. Menurut dia, banyak hambatan birokrasi dan aturan teknis yang dihilangkan. “Kami akan lebih fleksibel dalam merespons kebutuhan masyarakat,” kata dia, kemarin.
Denon memberi contoh bisnis rute penerbangan jarak dekat di lokasi perintis yang sebenarnya bisa dilakoni perusahaan kecil. “Sekarang mereka bisa lebih cepat dan ringan mengurus perizinan,” ucapnya. “Tentu standar keselamatan tetap ketat.”
Hingga berita ini ditulis, Tempo belum berhasil menghubungi Kementerian Perhubungan terkait dengan implementasi perubahan aturan penerbangan yang ada dalam UU Cipta Kerja. Adapun Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero), Muhammad Awaluddin, mengatakan revisi aturan membuat operator bandara lebih leluasa berinvestasi. “Sebelumnya sulit karena mitra kerja sama kami banyak kewajiban, misalnya harus punya lisensi Badan Usaha Bandar Udara atau syarat lainnya,” katanya.
FRANSISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
Keringanan Syarat Maskapai Penerbangan Berisiko Rugikan Konsumen