JAKARTA – Harga minyak mentah dunia di pasar global jatuh ke titik terendah dalam sejarah, akibat dampak wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Kontrak berjangka perdagangan minyak West Texas Intermediate, kemarin, jeblok hingga minus US$ 37,6 per barel untuk pengiriman Mei mendatang. Adapun minyak mentah Brent diperdagangkan pada kisaran US$ 18-25 per barel.
Penurunan tajam harga minyak dunia akibat sepinya permintaan akibat Covid-19 diprediksi bakal membebani fiskal negara. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, mengatakan minyak memiliki banyak pengaruh langsung dan tak langsung, seperti penerimaan negara. "Jika harganya terus minus, penerimaan negara bisa terkoreksi 5 persen," ujar dia, kemarin.
Komoditas minyak yang merupakan industri ekstraktif bakal mengurangi komponen pundi-pundi penerimaan perpajakan dan bukan pajak. PT Pertamina sebagai salah satu perusahaan negara yang bergerak di bisnis migas bakal terkena imbas. Setoran deviden kepada kas negara diperkirakan bakal berkurang drastis akibat lesunya bisnis migas.
Melansir kalkulasi yang dilakukan Indef, setiap selisih US$ 1 per barel berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara Rp 2,6-4,2 triliun. Adapun outlook harga acuan minyak Indonesia pada 2020 menggunakan patokan harga Brent US$ 25 per barel. "Asumsi dalam APBN 2020 ICP dipatok US$ 63 per barel, berarti ada potensi kekurangan pendapatan Rp 98,8-159,6 triliun," kata peneliti Indef, Abra Tallatov.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah bakal terus memantau fluktuasi harga minyak dengan saksama. Dia membenarkan bahwa harga minyak bakal berdampak negatif terhadap program pemerintah seperti penerapan B30. "Terjadi hal luar biasa. Tapi perlu kami ingatkan harga minyak yang jadi acuan pemerintah adalah Brent," kata dia.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengatakan pemerintah belum akan merevisi acuan harga minyak mentah Indonesia atau ICP. Pemerintah masih perlu melihat perkembangan fluktuasi harga tersebut. "ICP dalam APBN itu harga rata-rata setahun, tidak bisa diubah begitu saja karena perubahan harian atau mingguan," kata Askolani.
Askolani mengatakan masih ada celah penambahan pundi-pundi dari lemahnya konsumsi bahan bakar, khususnya bahan bakar minyak bersubsidi yang dipatok 15,87 juta kiloliter tahun ini. Melansir data PT Pertamina (Persero), selama masa krisis Covid-19 sejak Maret lalu, konsumsi bahan bakar minyak termasuk jenis tertentu yang disubsidi turun hingga 50 persen. Adapun hingga Maret 2020, realisasi ICP ada di kisaran US$ 52,1 barel.
Harga minyak dunia merosot tajam lantaran minimnya permintaan pasar. Untuk mengerem jebloknya harga emas hitam ini, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bakal memangkas produksinya sebanyak 9,7 juta barel mulai bulan depan. Mengklaim mencuri kesempatan dalam kesempitan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun sudah mengumumkan akan memborong 75 juta barel. "Kami mengisi cadangan minyak sampai penuh," kata Trump di laman AFP. Per 17 April, cadangan minyak AS sudah terisi 635 juta barel, dari batas saat ini sebanyak 713,5 juta barel.
Juru bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Agung Pribadi, mengatakan turunnya harga minyak mentah dunia seharusnya diikuti dengan penurunan harga jual bahan bakar minyak. "Terkait penurunan harga, pemerintah masih mencermati dan evaluasi perkembangan harga, pemotongan produksi OPEC, dan nilai tukar," kata dia. VINDRY FLORENTIN | ANDI IBNU
Beban Fiskal Bakal Membengkak