JAKARTA – Defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepanjang 2019 tercatat membaik menjadi 2,72 persen dari produk domestik bruto (PDB) dibanding pada 2018 sebesar 2,94 persen. Perbaikan defisit ditopang oleh kinerja neraca perdagangan yang turut mengalami peningkatan kinerja. "Defisit neraca dagang membaik dari minus US$ 12,7 miliar pada 2018 menjadi minus US$ 9,3 miliar," ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, kepada Tempo, kemarin.
Iskandar berujar, kebijakan pemerintah dalam penerapan bahan bakar minyak yang bersumber dari biodiesel B20 sejak akhir 2018 turut berkontribusi untuk menekan defisit neraca perdagangan dari minyak dan gas (migas). "Karena selama ini defisit neraca migas menjadi penyebab terbesar," kata dia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, berdasarkan pola tahunan, CAD cenderung akan melebar pada triwulan IV yang disebabkan defisit neraca perdagangan migas. "Tapi CAD keseluruhan tahun lalu tetap berada pada level di bawah 3 persen," ujarnya.
Dody menambahkan, secara keseluruhan, neraca pembayaran Indonesia juga mencatat surplus sebesar US$ 4,7 miliar. Surplus terjadi karena arus investasi asing yang berlanjut masuk ke Indonesia. "Hal ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi ke depan yang menguat dan berdaya tahan, termasuk pasar keuangan."
Namun, ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan perbaikan CAD selama 2019 bersifat temporer dan tidak menunjukkan sinyal positif. "Perbaikan defisit kali ini bukan sinyal bagus, karena penurunan defisit neraca dagang lebih didominasi berkurangnya aktivitas ekonomi, bukan karena ekspor yang tumbuh, tapi penurunan impor," ujarnya.
Penurunan terdalam khususnya terjadi pada impor bahan baku dan barang modal. "Ini menunjukkan industri manufaktur menurunkan kapasitas produksinya," kata Bhima.
Alhasil, angka CAD yang menurun justru dinilai patut diwaspadai karena dapat menjadi gejala berlanjutnya perlambatan ekonomi. "Terlebih ini terjadi di saat ekonomi global kurang membaik, jadi ini cukup aneh," tutur Bhima.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menambahkan, meski kondisi CAD membaik, secara fundamental kinerja neraca transaksi berjalan masih mengkhawatirkan. "Defisitnya masih tetap besar dan menandakan bahwa perekonomian sangat bergantung pada aliran modal, serta membuat nilai tukar rupiah menjadi rentan terhadap shock global," kata Piter.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina yang mencatatkan surplus, neraca transaksi berjalan Indonesia masih perlu banyak pembenahan. Menurut Piter, pemerintah harus bersungguh-sungguh melakukan reformasi struktural untuk menurunkan angka CAD secara sehat. "Khususnya dengan membangun kembali industri manufaktur dan mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas," ucapnya.
Lembaga pemeringkat, Moody’s Investor Service, dalam riset terbarunya juga mengungkapkan hal serupa. Pemerintah Indonesia diharapkan terus melanjutkan reformasi perekonomian secara struktural. Moody’s menyebutkan sejumlah tantangan yang perlu diwaspadai ke depan, antara lain ketergantungan pemerintah terhadap pendanaan struktural serta kerentanan struktur ekonomi terhadap siklus komoditas. GHOIDA RAHMAH
Perbaikan Defisit Neraca Transaksi Berjalan Temporer