Masalah Laten Program Berjuta-juta
Program tiga juta rumah menjadi janji politik Prabowo Subianto. Sulit untuk menghapus 12,7 juta backlog perumahan.
RUMAH murah selalu menjadi dagangan politik yang menggiurkan. Maklum, saat ini 15 persen keluarga Indonesia belum kesampaian punya rumah sendiri dan hanya bisa menumpang, mengontrak, atau lainnya.
Maka wajar saja Prabowo Subianto berjanji membangun jutaan rumah per tahun dalam kampanye pemilihan presiden lalu. Dikenal dengan program tiga juta rumah, rencana ini merupakan versi mutakhir dari program sejuta rumah Presiden Joko Widodo, rival Prabowo dalam dua pemilihan presiden sebelumnya.
Program tiga juta rumah akan Prabowo realisasi setelah ia dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024. Rencananya, satu juta hunian di perkotaan dan dua juta rumah di perdesaan dibangun per tahun. Anggarannya diperkirakan Rp 60 triliun, sedikit di bawah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk program makan bergizi gratis sebesar Rp 71 triliun.
Hingga kini belum jelas peruntukan program tiga juta rumah Prabowo itu. Jika mengacu pada program sejuta rumah Jokowi, targetnya adalah masyarakat berpenghasilan Rp 2,5-4 juta. Mereka diberi persyaratan mudah berupa uang pangkal 1 persen dan cicilan murah dengan bunga tetap 5 persen.
Masalahnya, urusan perumahan bukan hanya soal ketersediaan, melainkan harus ada kebutuhan. Tanpa memperhitungkan permintaan, perumahan dibangun hanya berdasarkan hitung-hitungan ekonomis pengembang, jauh dari sentra ekonomi demi mendapatkan lahan dengan harga murah.
Walhasil, para penghuni harus bolak-balik puluhan kilometer setiap hari untuk mengais rezeki. Taksiran biaya transportasi para komuter tersebut adalah Rp 71,4 triliun, setara dengan 2,2 juta liter bahan bakar minyak per hari. Ditambah kualitas bangunan yang buruk, dampak lain adalah banyak rumah subsidi ditelantarkan pemilik yang memilih mengontrak di dekat lokasi kerja.
Solusinya adalah penyediaan lahan di lokasi dengan kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan hunian (backlog) tertinggi. Dari total 12,7 juta kebutuhan hunian, konsentrasi tertinggi ada di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara.
Tim Prabowo meluncurkan terobosan dengan memanfaatkan lahan milik pemerintah. Misalnya, membangun menara berkapasitas 1.000 unit di 153 bangunan pasar milik Perusahaan Daerah Pasar Jaya di Jakarta. Lokasi-lokasi itu memang sulit mendatangkan kembali keramaian pengunjung pasca-pandemi Covid-19. Dengan tower menjulang di atas pasar, akan tersedia 153 ribu unit apartemen murah untuk warga Jakarta. Namun jumlah itu masih jauh di bawah kebutuhan hunian Jakarta yang lebih dari satu juta unit.
Skema serupa berlangsung pada periode pemerintahan Presiden Jokowi dengan memanfaatkan lahan badan usaha milik negara, seperti stasiun milik PT Kereta Api Indonesia di Jakarta dan sekitarnya. Namun ujung-ujungnya hanya segelintir yang bisa dibeli masyarakat miskin dengan subsidi fasilitas likuiditas pembiayaan pembangunan. Sebagian besar diperdagangkan dengan harga komersial sebesar Rp 300-500 juta. Pembelinya, ya, mereka yang jelas-jelas sudah punya rumah. Yang diuntungkan siapa lagi kalau bukan pengembang.
Cita-cita program tiga juta rumah Prabowo menghapus angka backlog perumahan juga menghadapi tantangan berupa akumulasi tingginya angka kelahiran, besaran demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk yang tinggal di perkotaan, yang mencapai 66,6 persen per 2035. Dengan demikian, sulit berharap backlog perumahan bisa terhapus lewat janji politik tersebut. Paling mungkin adalah memperkecil angka kesenjangannya.