Ponten Merah Jatuhnya Kelas Menengah
Jumlah masyarakat kelas menengah makin menyusut dalam lima tahun terakhir. Salah arah kebijakan ekonomi Jokowi.
TURUNNYA jumlah masyarakat kelas menengah merupakan alarm bagi Indonesia. Anjloknya jumlah kelompok ini merupakan pertanda sebuah negara makin jauh dari predikat sejahtera.
Ciri utama negara modern, demokratis, dan sejahtera adalah tebalnya lapisan kelas menengah. Dengan begitu, kemakmuran tersebar merata. Tapi yang terjadi di Indonesia adalah kebalikannya.
Jumlah masyarakat kelas menengah makin susut. Pada 2019, jumlah kelompok ini masih 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Tahun ini, jumlahnya tinggal 17,44 persen atau sekitar 47,85 juta. Mereka turun kelas ke kelompok calon kelas menengah atau aspiring middle class. Kelompok ini berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin.
Pada 2019, persentase kelompok calon kelas menengah masih 128,85 juta dan pada tahun ini naik jadi 137,5 juta. Pada saat yang bersamaan, kelompok rentan miskin juga terus bertambah, dari 54,97 juta pada 2019 menjadi 67,69 juta pada 2024. Celakanya, angka-angka ini tak pernah mendapat perhatian serius pemerintah.
Tiap tahun, pemerintahan Presiden Joko Widodo selalu sesumbar berhasil mengurangi angka kemiskinan. Dari 9,41 persen pada 2019 menjadi 9,36 persen pada 2023—setelah sempat melonjak jadi 10,14 persen pada 2021 gara-gara pandemi.
Padahal upaya menekan angka kemiskinan ini dicapai melalui cara instan: menggerojok kelompok miskin dan rentan miskin dengan bantuan sosial rutin. Dengan mengguyur bansos, kelompok miskin bisa ditekan dan golongan rentan miskin bisa ditahan.
Namun mereka sulit naik ke calon kelas menengah, apalagi kelas menengah sesungguhnya. Sedikit saja mendapat guncangan, kelompok rentan miskin cepat turun menjadi miskin.
Masalahnya, tanpa penciptaan lapangan kerja formal, masyarakat kelas menengah juga terus bertumbangan. Inilah dampak dari pemerintahan yang orientasi pembangunannya hanya pertumbuhan dan investasi. Sialnya, investasi yang tumbuh adalah sektor padat modal dan ekonomi berbasis sumber daya alam.
Sektor ini memang cepat bergerak, membuat pertumbuhan ekonomi terlihat stabil di angka 5 persen setiap tahun. Tapi pertumbuhan ini sangat timpang karena efeknya tidak merata. Mereka tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan seperti halnya industri manufaktur.
Penikmat terbesar pertumbuhan sektor padat modal serta ekonomi sumber daya alam hanya kalangan pengusaha dan politikus penerima konsesi. Mereka ini masuk 1 persen kelompok kelas atas.
Jalan pintas pembangunan ini membuat penciptaan lapangan pekerjaan bagi kelas menengah berkurang. Industri manufaktur yang padat karya tidak tumbuh. Bahkan mulai bertumbangan dan terjadi pemutusan hubungan kerja massal. Dampaknya, terjadi penurunan status ekonomi banyak orang: dari kelas menengah atau calon kelas menengah menjadi miskin atau rentan miskin.
Pertumbuhan angkatan kerja tak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja kelas menengah. Pada akhirnya, tenaga kerja lebih banyak terserap ke sektor informal.
Definisi pekerjaan kelas menengah adalah pekerjaan dengan upah dan tingkat kepuasan yang sepadan dengan harapan penduduk kelas menengah. Dalam standar upah, menurut studi Bank Dunia, adalah Rp 4-20 juta per bulan.
Pendek kata, pekerjaan kelas menengah adalah pekerjaan dengan pendapatan yang stabil dan mencukupi kebutuhan hidup layak, tidak terancam dipecat sewaktu-waktu, serta tersedia benefit tambahan seperti jaminan sosial. Pekerja di kelas ini menggunakan keahlian tertentu dan masih menyisakan waktu untuk menjalani hidup berkualitas.
Pekerjaan semacam ini yang makin sedikit tercipta karena kebijakan ekonomi sesat Jokowi. Yang tumbuh malah kelas pekerja (proletariat) dengan pekerjaan tidak pasti (precarious) alias prekariat, seperti pekerja alih daya, pekerja kontrak, hingga ojek online.
Tak mengherankan bila Bank Dunia menyebut Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan pekerjaan yang memiliki produktivitas rendah. Pertumbuhan produktivitasnya tidak cukup untuk mengeluarkan negeri ini dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Baca liputannya:
Maka, tak ada pilihan lain bagi presiden terpilih Prabowo Subianto untuk membanting kemudi kebijakan ekonomi yang berbeda dari gaya Jokowi. Tanggalkan doktrin asal investasi, apalagi yang hanya berbasis sumber daya alam dan padat modal. Model pembangunan seperti ini terbukti hanya memperlebar ketimpangan dan minim penciptaan lapangan kerja.
Salah satu caranya adalah memperbaiki iklim bisnis di sektor riil, utamanya manufaktur yang padat karya dan punya rantai pasok panjang. Industri semacam ini bisa menjadi basis ekonomi yang lebih stabil.
Yang juga perlu diberangus adalah korupsi, gangguan aparat nakal, hukum yang tumpul, serta aneka pungutan liar dari preman berseragam dan tidak berseragam. Itu semua adalah musuh utama investasi.
Jika sederet masalah itu terus dibiarkan, kita tak hanya terjebak menjadi negara berpendapatan menengah, tapi malah berisiko jatuh miskin sebelum sempat menjadi kaya. Mimpi meraih Indonesia Emas 2045 hanya tinggal angan-angan belaka.