maaf email atau password anda salah


Tentara Kembali ke Barak, Bukan ke Lapak

Perubahan UU TNI berpotensi menghambat pembentukan militer yang profesional. Pencabutan larangan tentara berbisnis bisa membahayakan dunia bisnis dan pertahanan negara.

arsip tempo : 172921750279.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172921750279.

JIKA revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia kelak menghapus larangan personel militer berbisnis, makin sempurnalah kegagalan reformasi TNI. Cita-cita kita memiliki tentara yang profesional harus dikubur dalam-dalam. Alih-alih berada di barak, kelak mereka barangkali akan lebih sering berkeliaran di lapak.

Usulan TNI agar Pasal 39 huruf C Undang-Undang TNI yang melarang prajurit aktif untuk berbisnis dihapus harus ditolak. Peniadaan pasal tersebut berarti negara mengizinkan prajurit untuk berniaga ataupun terlibat dalam kegiatan usaha. Jika hal itu terjadi, ancaman utama bagi pertahanan negara bukan lagi musuh bersenjata, melainkan ambisi para prajurit sendiri untuk menangguk cuan.

Bisnis tentara akan menimbulkan segudang konflik kepentingan. Kebijakan TNI berpeluang dibuat dengan motivasi bisnis ketimbang kepentingan pertahanan. Demikian juga kekuatan militer bisa dikerahkan demi tujuan serupa. Penggunaan informasi dan sumber daya strategis untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok juga akan membahayakan negara. Adapun bagi dunia usaha, hal tersebut akan menyebabkan inefisiensi dan persaingan yang tidak sehat. Akibat rusaknya iklim investasi, akhirnya para investor tak akan berminat membuka bisnis di Indonesia.

Masyarakat sipil juga akan merasakan efek buruk dari bisnis militer. Studi Human Rights Watch pada 2006—ketika gurita bisnis tentara lewat yayasan dan koperasinya belum sepenuhnya diambil alih oleh negara—memberikan gambaran ihwal itu. Ketika militer memiliki kewenangan finansial yang tak terbatas karena menguasai sejumlah bisnis, kontrol dari pemerintah dan masyarakat sipil akan kian tipis. Banyak masalah yang akan muncul ketika tentara tak lagi terkendali. Dari korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga eksploitasi sumber daya alam tanpa batas.

Mudaratnya bukan cuma itu. Di dalam tubuh militer, diizinkannya anggota TNI terlibat dalam bisnis bakal memicu kecemburuan. Para perwira bakal makin makmur, sedangkan bintara dan tamtama hanya mendapat tambahan penghasilan yang tak seberapa. Pengalaman militer berbisnis pada era Orde Baru telah membuktikan hal tersebut.

Pernyataan sejumlah petinggi TNI, termasuk Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak, sungguh memalukan. Seorang komandan mengizinkan prajurit bawahannya membuka warung dengan alasan demi menopang kesejahteraan. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang TNI sendiri, kewajiban negaralah untuk memberikan penghasilan yang layak bagi prajurit, bukan malah membebaskan mereka mencari penghasilan sampingan.

Lebih dari itu, pernyataan Maruli tersebut mengaburkan masalah yang sebenarnya, seolah-olah yang dipersoalkan hanyalah wirausaha kecil. Padahal itu bukan maksud norma dalam Pasal 39 soal larangan berbisnis. Karena itu, usulan penghapusan pasal ini agar anggota TNI boleh membuka warung, misalnya, adalah dalih yang dibuat-buat. Hilangnya pasal ini akan membuka jalan bagi militer untuk terlibat dalam kegiatan bisnis berskala besar.

Argumen TNI bahwa yang berbisnis adalah personelnya, bukan lembaga, juga menyesatkan. Sejak awal Orde Baru pun TNI sebagai institusi telah dilarang berbisnis. Namun TNI—dulu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia—kemudian menjalankan usahanya lewat yayasan dan koperasi. Pada 2006, sebelum sebagian bisnisnya diambil alih negara, bisnis militer setidaknya mencapai 352 unit yang dioperasikan puluhan yayasan dan ratusan badan usaha dengan nilai aset triliunan rupiah. Karena itu, argumentasi ini pun sangat rapuh.

Lagi pula, kalau ingin mendapatkan kekayaan, jadilah pengusaha, bukan tentara. Buat apa membangun akademi militer yang canggih jika para abiturennya lebih piawai berniaga ketimbang sebagai alat pertahanan negara.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 Oktober 2024

  • 17 Oktober 2024

  • 16 Oktober 2024

  • 15 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan