maaf email atau password anda salah


Karena Indonesia Bukan Negara Mafia

Penganiayaan jurnalis oleh tiga prajurit TNI Angkatan Laut di Maluku Utara mesti diproses di peradilan umum.

arsip tempo : 171453150792.

Memburu Otak Penyiksa Jurnalis Sukandi. tempo : 171453150792.

PENGANIAYAAN jurnalis Sidikkasus.co.id di Maluku Utara, Sukandi Ali, oleh tiga prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut merupakan kejahatan luar biasa. Pengusutan terhadap pelaku yang dijanjikan TNI AL semestinya tak berhenti pada kasus dugaan intimidasi dan teror, tapi juga kejahatan besar yang sedang mereka tutupi. 

Sukandi dianiaya setelah menerbitkan artikel “Puluhan Ribu KL BBM Diduga Milik Ditpolairud Polda Malut Ditahan AL di Halsel, Kepala KSOP II Ternate Diduga Terlibat”. Tulisan tersebut berisi informasi penangkapan kapal pengangkut bahan bakar minyak (BBM) yang diduga milik Direktorat Kepolisian Air dan Udara Kepolisian Daerah Maluku Utara di perairan laut Bacan Timur, Halmahera Selatan. 

Dua hari setelah artikel itu terbit, dua dari tiga tentara yang diduga pelaku menjemput paksa Sukandi di rumahnya di Halmahera Selatan. Sukandi mereka boyong ke Pos Jaga TNI Angkatan Laut di Pelabuhan Perikanan Panamboang, Bacan Selatan. Di tempat itu, ketiga tentara tersebut menginterogasi dan menyiksa Sukandi.

Kejahatan tiga tentara itu tidak boleh diusut sambil lalu saja. Selain dijerat dengan pasal penganiayaan, mereka bisa disangka melakukan kejahatan berlapis: dari penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hak asasi manusia, hingga melanggar kebebasan pers.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto harus mendorong agar ketiga prajurit itu diproses di peradilan umum. Selama ini kejahatan oleh tentara yang diadili di peradilan militer hanya mendapat sanksi ringan. Sebab, para prajurit penganiaya jurnalis itu pantas dijerat dengan pasal pidana umum lantaran bertindak bukan karena tugasnya sebagai anggota TNI. 

Yang tak kalah penting adalah mengejar otak penganiayaan Sukandi. Sulit dimungkiri tindakan tiga prajurit tersebut tidak muncul dari perintah orang yang terganggu oleh liputan pengungkapan pencurian BBM. Apalagi sudah lama praktik lancung penyelundupan BBM kerap terjadi dan melibatkan oknum tentara. Jika itu terbukti, mereka yang terlibat harus mendapat sanksi berat. 

Penganiayaan jurnalis Sukandi ini mengingatkan kita pada insiden pembunuhan Alfrets Mirulewan, Pemimpin Redaksi Mingguan Pelangi, Maluku, pada Desember 2010. Alfrets dibunuh dengan cara dianiaya terlebih dahulu saat menginvestigasi perdagangan gelap BBM di Maluku Barat Daya. Belakangan diketahui satu dari lima pelaku pembunuhan adalah anggota direktorat kepolisian air dan udara setempat. 

Kekerasan terhadap wartawan oleh tentara juga pernah terjadi di Aceh pada 2010, Sumatera Barat pada 2011, dan Riau pada 2012. Di Aceh, seorang perwira di Komando Distrik Militer 0115 Simeulue memukul jurnalis Harian Aceh, Ahmadi, akibat tulisannya mengenai pembalakan liar di Kecamatan Alapan, Simeulue. 

Di Sumatera Barat, prajurit TNI Angkatan Udara melakukan kekerasan terhadap beberapa jurnalis yang meliput kecelakaan pesawat peserta Minang Aero Sport Show 2011. Lalu, di Riau, prajurit TNI Angkatan Udara melakukan kekerasan terhadap beberapa jurnalis yang meliput kecelakaan pesawat Hawk 200 di Kampar.

Melihat daftar panjang itu, patut dicurigai ada upaya sistematis oknum tentara yang tidak ingin bisnis ilegalnya terungkap oleh media. Panglima TNI harus bertanggung jawab mengakhiri tindakan biadab terhadap para jurnalis ini. Indonesia bukan negara mafia yang aparatur negaranya bisa menganiaya siapa saja untuk menutupi kejahatan mereka.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan