Jokowi Kencing Berdiri, Guru Kencing Berlari
Sejumlah guru di Medan memobilisasi dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Seiring sinyal keberpihakan Presiden Joko Widodo.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Peribahasa yang menekankan betapa kuatnya pengaruh keteladanan dalam membentuk perilaku ini cocok untuk menjelaskan bagaimana sekelompok guru di Medan, Sumatera Utara—yang seharusnya bersikap netral dalam Pemilihan Umum 2024—malah terang-terangan berencana memobilisasi guru untuk berpihak kepada pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sejatinya, sikap tidak netral mereka segendang sepenarian dengan sinyal-sinyal dukungan Presiden Joko Widodo kepada anak sulungnya yang maju sebagai calon wakil presiden.
Beruntung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Medan bergerak cepat. Kemarin Bawaslu menyatakan tindakan enam guru yang juga pejabat Dinas Pendidikan Medan dan pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tersebut jelas telah melanggar prinsip netralitas aparatur sipil negara (ASN). Sebagai pelayan publik, mereka dilarang untuk terlibat dalam segala aksi mendukung dan memobilisasi dukungan untuk pasangan capres-cawapres mana pun. Keputusan Bawaslu ini patut didukung.
Laku lancung keenam pejabat Dinas Pendidikan dan pengurus PGRI itu terjadi di sela rapat yang membahas persiapan konferensi daerah PGRI Kota Medan pada 12 Januari lalu. Dalam perbincangan yang direkam dalam video berdurasi 2 menit 15 detik itu, mereka berdiskusi soal rencana memobilisasi dukungan kepada Prabowo-Gibran. Video soal rencana itu kemudian viral setelah tersebar luas lewat grup WhatsApp dan media sosial.
Bawaslu menyatakan keenam guru ini melanggar Pasal 283 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pemilu, Pasal 74 ayat 1 dan 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Kampanye Pemilu, serta Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang ASN. Mereka juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pasal 5 huruf n peraturan itu menyatakan ASN dilarang memberikan dukungan kepada peserta pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Bayangkan, jika kasus Medan dibiarkan, ada potensi 4,28 juta pegawai ASN dimobilisasi untuk mendukung salah satu pasangan capres. Jika hal itu terjadi, hampir pasti pelayanan ASN untuk masyarakat bakal terganggu. Dampak lainnya, ASN bisa jadi hanya akan melayani masyarakat yang setuju dengan pilihan politik mereka.
Selain itu, mobilisasi dukungan dari para guru untuk pasangan 02 bisa berdampak pada pilihan politik murid-murid mereka. Dari total 204 juta pemilih yang ada dalam Daftar Pemilih Tetap Nasional untuk Pemilu 2024, sebanyak 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda. Jika diakumulasi, total jumlahnya mencapai 106,4 juta. Ini jelas merupakan ceruk suara yang menggiurkan secara elektoral.
Sayangnya, presiden, para kepala daerah, dan para pemimpin lembaga negara sudah kehilangan posisi moral untuk mengingatkan ASN agar bersikap netral. Sejak awal kampanye, mereka sendiri sudah menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon. Mereka jelas tak bisa mengimbau bawahannya untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Kita tahu, di Medan, Wali Kota Bobby Nasution, yang juga menantu Jokowi, bahkan rela diberhentikan dari PDI Perjuangan setelah berkampanye untuk saudara iparnya.
Situasi semakin karut-marut setelah Presiden Joko Widodo menyatakan dirinya boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu kali ini. Dia merujuk pada Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Pasal 281 dalam regulasi yang sama menegaskan bahwa kampanye yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Ini jelas sikap salah kaprah. Presiden Joko Widodo hanya membaca sepotong regulasi tanpa memahami secara utuh Undang-Undang Pemilu. Dia alpa bahwa seorang presiden hanya diperbolehkan berkampanye jika dirinya berstatus inkumben yang maju lagi dalam kontestasi di periode kedua.
Kebingungan publik semakin masif karena Presiden Joko Widodo sendiri juga tidak konsisten. Dalam acara pengarahan penjabat kepala daerah di Istana Negara pada 30 Oktober 2023, dia meminta penjabat kepala daerah tidak memihak. Dalam Rapat Konsolidasi Nasional 2023 untuk kesiapan Pemilu 2024 di Istora Senayan, Jokowi kembali menegaskan bahwa seluruh aparat negara, baik ASN, TNI, maupun Polri, harus bersikap netral. Namun, tak sampai sebulan kemudian, dia merilis pernyataan yang bertolak belakang.
Walhasil, kasus Medan dan sejumlah indikasi soal mobilisasi ASN untuk Prabowo-Gibran di beberapa wilayah hanyalah ujung dari kerusakan yang sudah dibuat Jokowi terhadap tatanan bernegara di negeri ini. Jokowi tak hanya merusak demokrasi, tapi juga melanggar prinsip etik dalam sebuah negara hukum. Jika tak dihentikan, akrobat Presiden akan menggerus kepercayaan publik pada birokrasi dan aparatur sipil negara di Indonesia.