maaf email atau password anda salah


Laku Lancung Keberpihakan Presiden

Keberpihakan Jokowi melanggar Undang-Undang Pemilihan Umum. Sikap yang mengancam demokrasi.

arsip tempo : 171425856216.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171425856216.

KURANG dari satu bulan menjelang pemilihan umum, demokrasi kita justru kian tergelincir ke titik nadir. Rabu, 24 Januari 2024, tanpa ba-bi-bu, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa presiden dan menteri boleh menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu kandidat dalam pemilihan presiden. Pernyataan yang jelas-jelas salah kaprah ini rawan memicu kecurangan pemilu yang masif dan sistematis. Jika tidak dikoreksi, polisi dan semua aparatur negara bisa menafsirkan pernyataan itu sebagai restu untuk melakukan apa pun demi memenangkan kandidat yang disokong presiden. 



Memang pernyataan Jokowi itu seolah-olah benar jika mengacu pada Pasal 281 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu memperbolehkan presiden dan kepala daerah menjadi peserta kampanye selama cuti serta tidak menggunakan fasilitas negara yang melekat pada jabatannya. 

Yang tidak disampaikan Jokowi adalah Pasal 282 pada undang-undang yang sama. Pasal tersebut tegas-tegas melarang pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negara, serta kepala desa membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Pasal 283 dalam aturan itu juga melarang pejabat negara mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan peserta pemilu. 

Mustahil Jokowi tidak paham apa arti dua pasal itu. Dia seharusnya mengerti bahwa menunjukkan keberpihakan jelas bisa "merugikan salah satu peserta pemilu", sesuatu yang dilarang oleh UU Pemilu. Dia juga seharusnya tahu bahwa nyaris mustahil bawahan seorang presiden bertindak di luar keinginan sang presiden. Dengan kata lain, setipis apa pun sinyal keberpihakan yang datang dari Istana, para loyalis dan pendukung Jokowi pasti bakal turun tangan mengamankannya. 

Walhasil, presiden dan menteri merupakan pejabat negara yang terikat dengan larangan untuk berpihak serta berkampanye bagi kandidat tertentu. Namun, toh, dalam banyak kesempatan belakangan ini, Jokowi seolah-olah enteng saja melanggar semua aturan itu. 

Dalam kedatangannya ke Jawa Tengah pada awal pekan ini, Jokowi menyampaikan bahwa kegiatannya merupakan kunjungan kerja. Karena itu, dia memilih tidak cuti. Masalahnya, kunjungan kerja itu sarat simbol-simbol politik dan ajakan terselubung ataupun terang-terangan untuk memilih anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi calon wakil presiden. 

Tengok saja, ketika masyarakat menyambut iring-iringan kendaraan Presiden, dari jendela belakang mobil yang dinaiki Jokowi dan istri, muncul tangan berkemeja putih mengacungkan dua jari. Pose dua jari identik dengan dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Belakangan, kita tahu, acungan dua jari itu datang dari Ibu Iriana Jokowi. 

Tidak cukup di situ. Dalam kunjungan yang sama, saat pembagian sertifikat dan peninjauan perbaikan jalan Solo-Purwodadi, Jokowi menyoal perbaikan jalan yang bertahun-tahun tidak selesai. Pernyataan itu seolah-olah menyindir calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, yang merupakan mantan Gubernur Jawa Tengah.

Serangan Jokowi terhadap pasangan calon presiden lawan Prabowo-Gibran juga pernah dia lontarkan seusai debat ketiga calon presiden. Dalam debat tersebut, Prabowo Subianto terpojokkan oleh kritik Ganjar dan calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan. Keesokan harinya, Jokowi menuding debat itu tidak edukatif karena saling serang dan menyoal hal pribadi. Semua aksi lancung Presiden itu menunjukkan indikasi bahwa dia telah menyalahgunakan fasilitas jabatannya untuk berkampanye. Sikap Jokowi yang mulai terang-terangan mendukung Prabowo juga jelas menabrak etika dan norma netralitas pejabat negara dalam pemilihan presiden. 

Kini hanya ada satu jalan. Aksi pamer dukungan dari Jokowi dan para menterinya untuk pasangan 02 harus segera dihentikan. Badan Pengawas Pemilihan Umum mesti menindak tegas semua pelanggaran pemilu, siapa pun pelakunya, termasuk presiden dan para menteri sekalipun. Tanpa penegakan aturan dan hukum, mustahil pemilu yang jujur dan adil bisa diwujudkan. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan