Peraturan pemerintah yang mengatur pelibatan warga sipil dalam pertahanan negara mengandung banyak cacat yang berbahaya. Jika tidak segera direvisi, ada potensi pelanggaran hak asasi manusia dan militerisasi sipil yang mengancam demokrasi kita. Sebelum jatuh korban, Presiden Joko Widodo harus secepatnya membatalkan peraturan itu.
Keputusan Presiden Jokowi untuk menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara pada 12 Januari lalu jelas mengabaikan keberatan publik. Sejak disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat dua tahun lalu, undang-undang itu sudah memantik perlawanan banyak aktivis masyarakat sipil.
Tapi, nyatanya, pemerintah jalan terus. Berdasarkan aturan baru itu, perekrutan warga sipil sebagai komponen cadangan bisa segera dimulai. Kementerian Pertahanan bahkan sudah menargetkan sedikitnya 25 ribu orang bakal mengikuti program bela negara berupa pelatihan komponen cadangan.
Sejak awal, salah satu keberatan publik bermuara pada tidak jelasnya urgensi kebijakan ini. Indonesia tidak sedang berkonflik ataupun berencana berperang dengan negara lain. Ketimbang mengurusi hal yang tak mendesak semacam ini, seharusnya semua energi pemerintah difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 yang masih terus berkecamuk.
Konstitusi kita memang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Sayangnya, klausul umum itu kemudian diterjemahkan secara sepihak. Dalam aturan baru ini, semua ancaman terhadap negara dibayangkan hanya bersifat militer, dan semua pertahanan negara hanya bisa dilakukan secara militer.
Cara pandang semacam ini sungguh ketinggalan zaman. Pelatihan dasar kemiliteran selama tiga bulan untuk setiap anggota komponen cadangan yang direkrut pasti tak bakal banyak gunanya menghadapi serangan siber ataupun kerusakan alam. Padahal, Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara sebenarnya telah memetakan berbagai potensi ancaman mutakhir. Bukan hanya agresi militer, tapi juga terorisme, ideologi, kerusakan lingkungan, dan wabah penyakit. Tak jelas mengapa aturan turunan ini malah mundur. Tak hanya terlalu militeristik, peraturan ini juga mengabaikan supremasi sipil.
Terlebih peraturan ini juga tak mengatur bagaimana warga bisa menolak panggilan menjadi komponen cadangan jika agama dan kepercayaannya tak mengizinkan. Tanpa klausul itu, perekrutan komponen cadangan rawan menjadi pemaksaan. Penggunaan pangkat dalam komponen cadangan dan kewajiban tunduk kepada peradilan militer juga menunjukkan semangat militeristik yang berlebihan.
Ada dugaan pemerintah berharap program wajib militer ini bisa menjadi sarana efektif untuk membangun karakter bangsa. Ini jelas menunjukkan cara berpikir yang keliru. Tanggung jawab utama pembangunan karakter generasi muda Indonesia ada pada institusi pendidikan, bukan pada Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Jika sekolah-sekolah masih rajin memupuk eksklusivisme dan gagal membangun toleransi terhadap keberagaman, program komponen cadangan sebaik apa pun tak bakal berhasil membangun karakter bangsa yang sesuai dengan nilai Pancasila.