Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas penembakan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI) memang masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Namun Komnas HAM layak mendapat apresiasi atas kinerjanya yang cepat dalam menyingkap sebagian misteri di balik penembakan terhadap para pengawal Muhammad Rizieq Syihab itu.
Jumat lalu, Komnas membeberkan hasil investigasi atas penguntitan rombongan Rizieq yang berujung bentrokan berdarah pada Senin dinihari, 7 Desember lalu. Komnas HAM menyimpulkan, dua pengawal Rizieq tewas setelah saling serang dan terlibat baku tembak dengan polisi. Sedangkan empat orang lainnya tewas ditembak setelah ditangkap hidup-hidup dan dibawa ke mobil polisi.
Karena tak memiliki informasi pembanding selain keterangan polisi, Komnas HAM belum bisa memastikan bagaimana dan di mana sesungguhnya keempat anggota FPI itu ditembak mati. Namun Komnas menduga kuat penembakan terhadap empat orang itu sebagai pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) yang melanggar HAM. Menurut Komnas, aparat tidak bersungguh-sungguh mencegah bertambahnya korban jiwa setelah menangkap empat pengawal Rizieq di Kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek itu.
Kesimpulan Komnas HAM ini terbilang imparsial dan berani di tengah tekanan opini publik, baik yang pro maupun yang kontra terhadap FPI. Apalagi, sebelumnya, kepolisian sempat membangun cerita bahwa keenam anggota FPI itu semuanya ditembak karena menyerang dan membahayakan aparat.
Rekomendasi Komnas HAM agar dugaan pembunuhan di luar hukum itu dibawa ke ranah pidana sudah tepat. Bagaimanapun, klaim terakhir polisi bahwa keempat anggota FPI itu melawan dan mencoba merebut senjata petugas—sehingga ditembak mati—masih harus diuji kebenarannya. Bila hanya tim internal kepolisian yang mengusut, kasus ini bisa-bisa berhenti di urusan pelanggaran disiplin dan prosedur operasi. Artinya, aparat yang bersalah bakal menikmati impunitas alias tak tersentuh tangan hukum. Sebaliknya, di pengadilan pidana, kasus ini lebih berpeluang terungkap secara transparan. Aparat yang bersalah pun, lebih besar kemungkinannya, akan mendapat hukuman yang setimpal.
Komnas HAM juga sudah sepantasnya meminta Presiden Jokowi menaruh perhatian khusus pada kasus ini. Penuntasan kasus ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah pertama bagi Kepala Polri yang akan segera dipilih Jokowi. Presiden semestinya menugasi Kepala Polri baru untuk menuntaskan pengusutan kasus ini hingga bisa disidangkan di pengadilan. Jangan sampai kasus ini malah menambah catatan buruk penegakan HAM di Indonesia.
Selain kesalahan aparat, dugaan pemilikan senjata api oleh anggota FPI penting diusut. Pemilikan senjata api tanpa izin, apalagi bila dipakai untuk melawan aparat, jelas merupakan tindak pidana. Tentu saja, pengusutan pemilikan dan penggunaan senjata api ilegal itu bukan untuk menambah hukuman bagi anggota FPI yang sudah mati. Pengusutan itu penting sebagai momentum untuk menertibkan pemilikan senjata api ilegal dan memutus mata rantai kekerasan serta kejahatan yang lebih luas di masyarakat. *