Tak ada pilihan lain, pemerintah harus segera merombak total mekanisme penyaluran bantuan sosial. Selama ini, bantuan sosial—terutama yang berwujud barang—kerap menjadi bancakan politikus partai dan pejabat pemerintah di pelbagai tingkatan.
Menteri Sosial Tri Rismaharini tak cukup berjanji mengubah semua jenis bantuan sosial menjadi bantuan non-tunai yang akan ditransfer ke rekening penerima. Risma perlu bekerja keras agar bantuan sosial tepat sasaran dan bebas penyelewengan.
Meski bisa meminimalkan celah korupsi, bantuan non-tunai lewat rekening tidak otomatis bebas dari penyimpangan. Penyelewengan bisa saja terjadi sejak penentuan penerima bantuan, misalnya dengan menyertakan orang-orang yang sebetulnya tak berhak menerima santunan. Sewaktu pencairan bantuan, seperti yang kerap terjadi, kutipan tak resmi bisa menjelma dalam pelbagai biaya administrasi.
Sebagai langkah awal, Risma sudah tepat memprioritaskan pembenahan data penerima bantuan. Sebab, seperti Menteri Sosial sebelumnya, Risma pun menghadapi masalah laten buruknya data penerima bantuan. Sejak awal, pemerintah Joko Widodo memang tak membangun basis data yang kuat supaya bantuan sosial efektif, tepat sasaran, dan bebas korupsi. Banyak celah dan lubang yang dibiarkan sehingga kroni para pejabat dan politikus punya kesempatan untuk “mencopet” dana bantuan bagi orang susah itu.
Enam tahun lalu, Jokowi seharusnya memakai data yang dihimpun Tim Nasional Penanggulangan dan Pengentasan Kemiskinan (TN2PK), warisan pemerintahan sebelumnya. Sebab, tim itu telah menyediakan data orang miskin secara detail, dari nama hingga alamatnya. Data tersebut juga dihimpun secara teknokratis dan steril dari intervensi politik.
Alih-alih memakai data versi TNP2K, pemerintah Jokowi terus menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Padahal Badan Pemeriksa Keuangan telah mewanti-wanti bahwa data versi Kementerian Sosial itu kurang akurat dan bias kepentingan politik. Hingga musim penyaluran bantuan untuk korban pandemi Covid-19, DTKS pun sudah lima tahun tak diperbarui.
Kasus korupsi yang menyeret Juliari P. Batubara, Menteri Sosial sebelum Risma, semestinya menjadi pelajaran penting bahwa bantuan sosial tak boleh dicemari kepentingan partai atau jejaring politik tertentu. Tak bisa dimungkiri, Risma pun menjadi Menteri Sosial atas sokongan PDI Perjuangan. Namun, ketika hendak merombak data dan mekanisme penyaluran bantuan sosial, Risma semestinya berani menolak campur tangan partai politik.
Penentuan penerima bantuan harus merujuk pada kriteria kemiskinan yang riil, obyektif, dan bebas manipulasi. Di tengah pandemi ini, semua rakyat miskin Indonesia berhak mendapat pertolongan, meski dalam pemilihan umum mereka tak memilih partai ataupun kandidat yang kini berkuasa. *
*