TAK ada gunanya terburu-buru memberlakukan Undang-Undang Cipta Kerja meski telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat sepekan lalu. Presiden Joko Widodo sebaiknya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias perpu, untuk kemudian membahas ulang aturan itu dari awal.
Undang-undang itu disusun tanpa banyak melibatkan partisipasi publik. Disusun dalam skema omnibus dan diajukan ke DPR, Februari lalu, pasal-pasal di dalamnya dibuat untuk mengubah berbagai aturan pada 79 undang-undang lain. Aturan baru banyak mengakomodasi kepentingan pengusaha, memarginalkan pekerja, mengabaikan kelestarian lingkungan, juga cenderung mengarahkan negara kembali ke kekuasaan sentralistik.
Para akademikus, mahasiswa, buruh, organisasi keagamaan, dan kelompok-kelompok lain menolak undang-undang itu. Demonstrasi besar digelar di berbagai daerah, pekan lalu, dan sebagian di antaranya berakhir rusuh. Sayangnya, Jokowi menganggap enteng demonstrasi dan penolakan publik. Ia menyatakan mereka yang berdemonstrasi termakan “hoaks dan disinformasi di media sosial”. Ia, antara lain, mengutip kabar burung yang menyebutkan buruh tak lagi memperoleh cuti. Padahal, kata dia, undang-undang tidak menghilangkan hak itu. Ia tidak menjelaskan soal cuti ini secara lengkap. Pasal 81 Angka 23 pada draf Undang-Undang Cipta Kerja memang mengatur cuti tahunan 12 hari kerja. Namun aturan baru menghilangkan kewajiban perusahaan memberikan cuti besar minimal 2 bulan kepada pekerjanya.
Jokowi juga mengulang klaim bahwa aturan omnibus bakal menyederhanakan perizinan berusaha. Kenyataannya, menurut kajian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, undang-undang baru ini masih memerlukan aturan turunan yang jumlahnya mencapai 500-an. Berbagai peraturan pelaksana inilah yang juga akan dikebut dan, menurut Jokowi, bakal siap dalam satu hingga tiga bulan. Sudah bisa diperkirakan, target kejar tayang ini pun akan mengabaikan partisipasi publik.
Jelas sekali, omnibus merupakan proyek legislasi ambisius pemerintah Jokowi. Ia pertama kali menyampaikannya pada saat pidato pelantikan pada Oktober 2019. Ia mengklaim aturan baru bakal mengencangkan aliran investasi asing ke Indonesia. Ia awalnya meminta DPR menyelesaikannya dalam seratus hari. Karena itu, begitu disahkan Senayan, pekan lalu, ia tutup telinga terhadap berbagai keberatan.
Jokowi memberi respons normatif agar mereka yang berkeberatan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kenyataannya, lembaga itu belum pernah memenangkan gugatan untuk menguji apakah penyusunan undang-undang sudah dilakukan secara konstitusional. Banyak yang semakin pesimistis karena para hakim konstitusi baru mendapat “hadiah” dari Senayan berupa perpanjangan masa dinas.
Mengingat Jokowi adalah aktor utama penyusunan omnibus, kemungkinan ia menerbitkan perpu memang kecil sekali. Namun, tak ada salah, editorial ini memintanya: jangan menutup telinga.