Penerapan pakta integritas bagi mahasiswa baru Universitas Indonesia adalah bentuk pengekangan terhadap hak-hak mahasiswa. Institusi pendidikan, terlebih pendidikan tinggi, semestinya melahirkan manusia-manusia bebas, baik dalam belajar, berpikir, menyatakan pendapat, maupun menyalurkan aspirasi. Kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi di lingkungan akademis adalah tradisi bagus yang seharusnya tidak dilarang.
Draf pakta integritas itu beredar luas di media sosial belakangan ini. Universitas Indonesia mengubah beberapa isi pakta integritas yang wajib ditandatangani mahasiswa tahun ajaran 2020/2021. Pihak kampus menambahkan sejumlah poin baru dalam draf pakta integritas yang berisi 13 poin janji mahasiswa tersebut. Poin baru yang menyulut kontroversi adalah larangan mahasiswa terlibat dalam politik praktis yang dianggap mengganggu tatanan akademis dan kehidupan bernegara. Kelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin dari pimpinan kampus juga dilarang membuat kaderisasi/orientasi/studi/latihan/pertemuan.
Frasa “politik praktis” berpotensi menjadi aturan karet yang mengekang hak politik mahasiswa. Mahasiswa yang berunjuk rasa karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, misalnya, dapat dianggap menjalankan politik praktis sehingga bisa memperoleh sanksi dari kampus.
Larangan ini mengingatkan kita akan pembersihan kampus dari gerakan politik mahasiswa pasca-peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Pada saat itu, pemerintah Orde Baru membungkam suara mahasiswa melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kampus (BKK). Dengan kebijakan tersebut, pemerintah membubarkan senat mahasiswa dan dewan mahasiswa di kampus-kampus di seluruh Indonesia dan melumpuhkan kegiatan politik mahasiswa.
Universitas Indonesia selayaknya menyebutkan nama organisasi yang dilarang bila pakta integritas tersebut dimaksudkan untuk membendung jejaring penyebar paham khilafah atau intoleran, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), ataupun organisasi sejenisnya. Universitas Indonesia tidak boleh berlindung di balik aturan karet yang dapat disalahgunakan untuk memberangus organisasi apa pun.
Universitas Indonesia sudah mengakui pakta integritas yang telah beredar luas di masyarakat itu bukan dokumen resmi milik kampus. Ada ketidaksesuaian format dokumen yang beredar itu dengan format standar dokumen resmi UI. Namun pihak Universitas Indonesia tidak menampik keberadaan pakta integritas itu. Mereka mengakui ada pakta integritas yang masih berupa draf usulan, belum final, dan belum disetujui oleh rektor.
Rektor Universitas Indonesia harus menolak pakta integritas tersebut. Jika sebaliknya yang terjadi, ia akan dipersepsikan membenarkan apa yang selama ini telah menjadi desas-desus: Universitas Indonesia telah menjadi kampus yang membebek pemerintah lewat figur rektor yang menjadi kaki tangan kekuasaan.