Pemerintah sudah seharusnya menjelaskan alasan dan manfaat penggunaan dana Rp 90,45 miliar untuk membayar pemengaruh alias influencer di media sosial. Jejak anggaran itu ditemukan tim Indonesia Corruption Watch belum lama ini.
Tim ICW menelusuri pengadaan barang dan jasa berkaitan dengan aktivitas digital 41 instansi pemerintah pusat sejak 2014 hingga 2020. Temuannya, nilai total anggaran untuk aktivitas digital pemerintah sekitar Rp 1,29 triliun. Termasuk di antaranya adalah anggaran Rp 90,45 miliar untuk membayar para influencer yang mengucur sejak 2017.
Pemerintah sah-sah saja memakai jasa pemengaruh di media sosial sepanjang tujuannya positif, transparan, serta bisa dipertanggungjawabkan. Namun penggunaan jasa pesohor di media sosial tak bisa dibenarkan bila niatnya untuk memanipulasi opini seputar kebijakan pemerintah yang kontroversial.
Contoh paling aktual adalah penggunaan jasa influencer untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Rancangan omnibus law itu sejak awal mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya dari kalangan buruh dan aktivis lingkungan hidup. Mereka menolak karena melihat banyaknya pasal dalam RUU Cipta Kerja yang bakal merugikan buruh dan lingkungan.
Ketika menghadapi penolakan, pemerintah tak selayaknya mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa influencer untuk menggalang dukungan semu—tanpa didasari pengetahuan tentang baik-buruk sebuah kebijakan. Pemerintah seharusnya meyakinkan masyarakat dengan membuka ruang diskusi seluas-luasnya. Selain untuk meminimalkan mudarat, pembuatan kebijakan yang partisipatif juga penting agar pelaksanaannya mendapat dukungan luas.
Lebih berbahaya lagi bila pemerintah sampai membayar jasa pendengung alias buzzer anonim untuk menggalang dukungan. Bekerja dari tempat gelap, buzzer anonim bisa merusak ruang percakapan publik dengan memanipulasi fakta, baik untuk menggalang dukungan maupun menyerang pihak yang bersikap kritis terhadap sebuah kebijakan.
Memanipulasi opini jelas berbeda dengan menggalang dukungan secara persuasif. Dalam kampanye persuasif, misalnya, para pekerja humas yang profesional bekerja dengan menonjolkan sisi positif sebuah kebijakan atau sebuah produk. Mereka juga terikat pada kode etik untuk tidak memanipulasi informasi atau menjatuhkan produk pesaing secara curang.
Penggunaan jasa buzzer anonim pun tak bisa disamakan dengan pemasangan advertorial atau iklan di media massa. Advertorial terbuka, yang memaparkan sisi positif kebijakan atau program pemerintah, tak bisa memutarbalikkan fakta. Dalam hal iklan komersial, media pun terikat pada ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang melarang iklan produk yang mengelabui konsumen. Ada juga kode etik yang mewajibkan pemisahan urusan iklan dengan berita, juga ruang bisnis dengan ruang redaksi. Sebaliknya, para buzzer anonim bisa memutarbalikkan fakta, tanpa terikat kode etik apa pun, bahkan tak terjangkau oleh tangan hukum.
Dalam konteks inilah transparansi alokasi dan penggunaan anggaran kampanye pemerintah di media sosial sangat diperlukan. Jangan sampai bujet negara digunakan untuk membayar kampanye dengan cara dan tujuan yang justru mencederai kepentingan rakyat. *