Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akrobat Politik Dua Koalisi

Pembentukan koalisi calon presiden dan wakil presiden 2019 merupakan akrobat elite politik yang menyedihkan.

13 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koalisi Jokowi dan Prabowo Tawarkan Kompensasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembentukan koalisi calon presiden dan wakil presiden 2019 merupakan akrobat elite politik yang menyedihkan. Kedua pasangan kandidat, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, tidak menggambarkan kesadaran para politikus untuk menjawab tantangan zaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ma’ruf jelas dipilih demi kepentingan elektoral inkumben Jokowi. Dia dan koalisi pendukungnya, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura, lebih peduli pada "mengamankan suara Islam". Faktor kompetensi yang dikaitkan dengan situasi modern sama sekali dikesampingkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aspirasi sebagian besar pendukung Jokowi yang selama ini selalu menyerukan pluralisme seolah-olah ditelikung begitu saja. Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf merupakan pemberi stempel penistaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Ma’ruf pun memiliki riwayat buruk dalam hal kesetaraan hak berwarga negara.

Pembentukan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno pun jauh dari pesan demokratis. Sandi muncul begitu saja, hanya untuk menjawab kebuntuan partai-partai pendukungnya, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). "Pemaksaan jodoh" itu pun membuka perpecahan bahkan sebelum koalisi terbentuk, ketika Partai Demokrat yang selalu menyorongkan Agus Harimurti Yudhoyono merasa ditikam dari belakang.

Walau kemudian Partai Demokrat menyatakan bergabung dalam koalisi Prabowo-Sandiaga, intrik politik koalisi itu telah terbuka ke publik. Politikus Demokrat, Andi Arif, menuduh adanya "mahar" politik dari Sandiaga untuk mendapatkan posisinya. Informasi yang diperoleh Tempo menguatkan tuduhan itu. Sandi disebut-sebut menggelontorkan dana kampanye buat PKS dan PAN.

Dua koalisi yang terbangun hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua kubu gagal memperjuangkan idealisme bahwa kekuasaan hanyalah tujuan antara, demi meraih kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Koalisi semacam ini menjadikan partai-partai hanya sebagai office-seeking party, alat untuk meraih kepentingan elite. Sepak terjang partai akhirnya jauh dari aspirasi konstituen dan ideologinya.

Kubu Joko Widodo sebenarnya punya peluang membangun koalisi yang sehat. Sebagai inkumben, ia secara teknis punya keunggulan dibanding pesaingnya. Dia, antara lain, menguasai kekuasaan legal untuk menunjukkan kinerja yang baik--dan dengan begitu menarik simpati masyarakat. Jokowi semestinya bisa memilih teknokrat yang mumpuni sebagai pendampingnya pada periode kedua kekuasaannya.

Tantangan jangka pendek negara ini sungguh tak ringan. Ekonomi global yang membuat perekonomian nasional dalam tekanan, defisit neraca perdagangan, ataupun pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat perlu dijawab dengan cepat. Wakil presiden yang cakap akan menjadi sekondan bagi presiden terpilih.

Kedua pasangan, sejauh ini, belum meyakinkan untuk menjawab kebutuhan itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus