maaf email atau password anda salah


Guru

Tak adakah cara lain agar pendidikan dasar dan menengah diurus satu atap? Agar guru yang mulia mendapat penghargaan yang benar.

arsip tempo : 172575193448.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172575193448.

PROFESI guru begitu mulia. Sejak dulu. Dalam catatan budaya luhur bangsa ini, kemuliaan guru dipilah dalam empat kategori. Dikenal dengan istilah Catur Guru. Keempat guru itu punya tugas dan kewajiban masing-masing tapi saling berkaitan.

Catur Guru yang pertama disebut Guru Rupaka, yakni orang tua yang melahirkan kita. Yang mengajari kita berjalan, bercakap, dan seterusnya. Yang kedua, Guru Pengajian, yang mengajarkan ilmu pengetahuan di sekolah. Yang ketiga, Guru Wisesa, pemerintah dalam lingkup luas adalah masyarakat. Yang keempat, Guru Swadhayaya, yakni Tuhan yang Maha Esa. Sesuatu yang tak bisa dijabarkan sebagai penuntun.

Kemuliaan guru di era belakangan ini disetarakan dengan pahlawan. Namun, jika pahlawan pembela negara mendapatkan tanda jasa, guru terlupakan. Dilahirkanlah istilah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Semacam sindiran kepada pemerintah bahwa profesi guru begitu penting dan mestinya dibalas. Cuma pemerintah tak merasa disindir. Nasib guru tetap memprihatinkan. Padahal berbagai instansi berebut mengelola profesi guru.

Seharusnya semakin banyak yang menangani, kehidupan guru semakin baik. Tapi tidak, justru semakin amburadul. Pemerintah pusat membagi kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk mengurus sektor pendidikan dasar dan menengah. Pengangkatan guru pun jadi wewenang daerah yang kemudian diusulkan ke Kemendikbudristek. Dari sini dibawa ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kalau disepakati, dibawa lagi ke Kementerian Keuangan soal anggarannya. Begitu berliku.

Pengangkatan guru di daerah pun ada berbagai variasi. Ada yang lewat dinas pendidikan yang di bawah pemda. Ada yang diangkat oleh kepala sekolah setempat tanpa melibatkan pemda. Semua disebut guru honorer tapi beda soal nafkah. Guru yang diangkat pemda dengan istilah “mengabdi” nafkah berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu sebulan. Dananya diambilkan dari APBD. Guru kelompok ini punya harapan untuk suatu ketika diusulkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Guru yang diangkat oleh kepala sekolah setempat honornya lebih tinggi. Dananya diambilkan dari bantuan operasional sekolah (BOS).

Guru honorer ini yang heboh sekarang karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beranggapan bahwa dana BOS bukan untuk itu. Terutama di Jakarta, kasusnya lebih banyak. Lalu apa yang terjadi? Dinas Pendidikan DKI Jakarta melakukan apa yang disebut dengan istilah cleansing. Bagaimana pembersihan itu dilakukan? Ya memecat guru hononer model ini. Alasan pemerintah adalah pengangkatan guru itu tidak melalui seleksi yang ketat. Suka-suka kepala sekolah. Ada 107 guru yang sudah dipecat dengan istilah kontraknya diputus pada awal tahun ajaran baru ini.

Bagaimana dengan daerah lain? Sistem cleansing tidak mencolok. Namun tetap ada keprihatinan. Guru honorer yang sudah bertahun-tahun “mengabdi” belum ada harapan menjadi ASN. Justru pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Nah, guru dimasukkan ke golongan ini untuk menunjukkan komitmen pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Proyeksi Kemendikbudristek, ada 1,3 juta guru yang akan masuk program PPPK sampai akhir 2024 ini.

Persoalannya, menjadi PPPK itu harus diusulkan pemerintah daerah ke Kemendikbud. Syaratnya sangat ketat, termasuk soal usia. Kriteria lamanya mengabdi tak dipakai acuan. Padahal sebagian besar usia itu dipakai untuk mengajar dengan honor hanya ratusan ribu rupiah. Dengarkan pengakuan Sang Guru yang memprihatinkan ini ketika mengadu ke wakil rakyat. “Anak didik saya sudah ada yang jadi dosen, jadi perwira polisi, jadi tentara, dan saya tetap jualan kerupuk sebelum mengajar ke sekolah,”  katanya.

Tak adakah cara lain agar pendidikan dasar dan menengah diurus satu atap? Agar guru yang mulia mendapatkan penghargaan yang benar. Guru adalah pahlawan yang mencerdaskan bangsa, tapi kita tak sanggup memberikan nafkah yang layak sebagai tanda jasa.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 8 September 2024

  • 7 September 2024

  • 6 September 2024

  • 5 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan