Putu Setia
@mpujayaprema
Kita mengalami berbagai demokrasi, baik sebutan formal maupun sekadar iseng. Pada masa Orde Lama ada Demokrasi Terpimpin. Ini sebutan formal. Bung Karno selalu dipilih sebagai presiden. Malah suatu saat Sukarno diangkat sebagai presiden seumur hidup.
Pada era Orde Baru, ada kemajuan. Demokrasi Terpimpin ditinggalkan. Tapi tak ada nama yang formal. Ada yang menyebut Demokrasi Pancasila. Semua masalah, termasuk pemilihan presiden, dimusyawarahkan lewat perwakilan, sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tapi Soeharto tak mau ada pemilihan, meskipun calonnya cuma dia. Alasannya, bagaimana kalau ada anggota MPR tidak memilihnya? Itu berarti musyawarah tidak bulat. Lalu lahirlah istilah “musyawarah lonjong” yang harus dihindari.
Wakil presiden juga tak perlu dipilih. Wakil presiden ditentukan Pak Harto. Pernah sekali ada “penyimpangan” atau sekadar usil. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, J. Naro, mengumumkan dirinya sebagai calon wakil presiden. Dia sempat mencetak kartu nama yang dibagikan kepada wartawan dengan tulisan: calon wakil presiden. Keusilan ini tak digubris.
Orde Baru runtuh. Muncul Demokrasi Reformasi, tapi ini nama yang dibuat para demonstran. Presiden dan wakilnya dipilih oleh MPR dan tidak berpasangan. Presiden pertama pada era ini adalah Abdurrahman Wahid, yang dalam pemilihan mengalahkan Megawati Soekarno Putri. Semula ada tiga calon, satu lagi Yusril Ihza Mahendra. Orang yakin Mega pasti menang telak. Menjelang pemilihan, Yusril mengundurkan diri. Dengan hanya dua calon, suara kaum nasionalis kalah tipis oleh suara partai-partai Islam. Kekecewaan terjadi, terutama di basis pendukung nasionalis seperti Bali. Ada amuk massa, gedung-gedung pemerintahan dibakar. Esoknya, ketika pemilihan wakil presiden, Mega yang menang. Mega gembira, tapi kota-kota di Bali sudah penuh puing.
Demokrasi itu bisa juga lucu. Pada era selanjutnya, presiden dan wakil presiden dipilih berpasangan. Awalnya, calon presiden dan wakil presiden ada banyak karena setiap partai bebas mencalonkannya. Lalu ada putaran kedua dan ini memboroskan. Maka dibuatlah aturan yang tak ada dalam konstitusi calon pasangan presiden dan wakil presiden hanya bisa diajukan oleh partai dengan ambang batas tertentu. Calon pun praktis hanya dua pasang.
Dalam pemilihan presiden yang terakhir, Jokowi-Ma’ruf Amin bertarung keras melawan Prabowo-Sandiaga. Masyarakat terpecah. Muncul istilah “cebong” dan “kampret” yang maki-makiannya memalukan sebagai bangsa yang pernah punya budaya luhur. Jokowi-Ma’ruf Amin memenangi pemilihan, tapi Prabowo-Sandiago terus melawan.
Namun Jokowi, yang lahir pada Rabu Pon, bertekad menghilangkan cebong dan kampret itu. Prabowo diangkat sebagai menteri. Pendukung Prabowo-Sandiaga pun terkesiap kaget, tapi masih ada asa karena Sandiaga menolak menjadi menteri. Akhir cerita, pada reshuffle kabinet pada Rabu lalu. Sandiaga pun dilantik menjadi menteri. Maka, mengutip pernyataan politikus Irma Suryani Chaniago, apa arti pemilihan presiden yang berdarah-darah itu? Mungkin inilah perjalanan demokrasi yang menuju “musyawarah mufakat tanpa lonjong dengan pemilihan langsung oleh rakyat”. Ke depannya, sebaiknya pencalonan presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas, sesuai dengan tuntutan Rizal Ramli dan kawan-kawan ke Mahkamah Konstitusi. Jika calonnya banyak, misalnya, sampai 10 pasang, ada sembilan pasang atau 18 tokoh yang kalah dan siap menjadi menteri. Barangkali ini hemat dan lebih aman. Kita namai sementara Demokrasi Rabu Pon.