Putu Setia
@mpujayaprema
Manusia merencanakan, corona menentukan. Gubernur Anies Baswedan boleh saja berencana membuka gedung bioskop di Jakarta, memenuhi desakan pengusaha. Tapi Covid-19 menentukan lain. Jangankan membuka gedung bioskop, malah kini ia memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ketat, seperti pada saat awal wabah Covid-19 merebak. Anies mengibaratkannya sebagai menarik rem darurat.
Gubernur Wayan Koster berencana membuka kawasan wisata pada 11 September kemarin, karena pertumbuhan ekonomi Bali sudah minus sekian persen. Komponen pariwisata mendesak hal itu. Tapi Covid-19 belum mengizinkannya. Kasus positif corona di Bali meningkat pesat. Tingkat hunian pasien di rumah sakit sudah menduduki juara pertama se-Indonesia, mengalahkan Jakarta yang di nomor dua. Kalau di Jakarta rem darurat tidak ditarik, menurut Anies Baswedan pada 17 September nanti rumah sakit sudah penuh. Di Bali, rumah sakit bahkan sudah penuh, tapi Wayan Koster tak bisa menarik rem darurat, karena remnya memang tak ada sejak awal. Bali tak pernah menerapkan PSBB, karena tidak punya anggaran untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat sesuai dengan persyaratan PSBB.
Kenapa Covid-19 kembali mengganas? Berbagai teori bermunculan. Salah satunya karena pemerintah dengan semangat menerapkan berbagai pelonggaran untuk menggerakkan ekonomi. Termasuk menambah cuti bersama sehingga memperpanjang masa libur. Dan orang berbondong-bondong berpiknik. Ini menimbulkan kerumunan, yang membuat virus corona tertawa-tawa mendapat lahan baru.
Masalahnya, adaptasi kehidupan baru tidak disertai dengan protokol kesehatan yang ketat. Orang ogah memakai masker. Padahal harga masker cuma Rp 6.000 dijajakan di pinggir jalan, bahkan ada yang gratis kalau mau masker bergambar logo perusahaan atau lambang partai. Kenapa orang pada bandel dan bersedia didenda Rp 100 ribu atau disuruh masuk ke peti mati? Alasannya pun banyak. Ada yang bilang sulit bernapas, ada pula alasan lain, seperti, “Kata Pak Menteri, hanya orang sakit yang pakai masker. Yang sehat tidak.” Memang, pada awal pandemi, Menteri Kesehatan pernah ngomong begitu, dan ucapan ini menancap di benak sebagian masyarakat karena Pak Menteri tak pernah meralat ucapannya.
Presiden Jokowi menunjukkan kekecewaannya kepada para menteri yang tak bekerja dalam pola krisis menangani penyebaran Covid-19. Pola kerja menteri masih seperti keadaan normal, biasa-biasa saja. Bahkan Jokowi mengancam akan melakukan perombakan kabinet kalau kerja mereka tak ada kemajuan. Tapi lagi-lagi Jokowi hanya mampu melontarkan rencana, corona pulalah yang membatalkan niat itu. Takut hanya bikin gaduh.
Pemerintah tak memberi teladan dalam menangani Covid-19. Selain tak kompak, berbagai aturan yang membatasi masyarakat dilanggar sendiri oleh pejabat. Aturan dilarang membuat kerumunan massa dilanggar oleh para calon pilkada ketika mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum. Pelanggarnya justru calon petahana. Di Bali, ada aturan bersembahyang ke pura dibatasi, tak boleh membawa gamelan. Tapi, saat para calon bupati mendaftar ke KPU, massa dikerahkan dengan iringan gamelan yang memekakkan. Pelanggaran ini hanya mendapat teguran dari Kemendagri.
Rem darurat seharusnya tak hanya ditarik Anies Baswedan. Jokowi juga perlu menarik rem itu. Jangan bernafsu menggerakkan ekonomi pada saat wabah semakin ganas, sebagaimana dikehendaki para menteri ekonomi. Jokowi harus konsisten, “Aku merencanakan dan aku akan laksanakan.” Jadi, rombaklah kabinet, terutama di kementrian yang berurusan erat dengan Covid-19 ini.