Taufiqurrahman
Editor Buku-buku Filsafat
Sudah banyak yang menulis tentang Michel Foucault dalam bahasa Indonesia. Beberapa karya besarnya, seperti The Order of Things dan The Archeology of Knowledge, juga sudah bisa kita baca dalam bahasa Indonesia. Bahkan pendekatan Foucauldian juga sudah lumrah digunakan dalam kajian akademis di banyak kampus di Indonesia, terutama dalam bidang sosial-humaniora.
Itu artinya, di Indonesia, Foucault bukan lagi filsuf yang lebih sering disebut namanya ketimbang dibaca karyanya, seperti kebanyakan filsuf lainnya. Namun pendekatan Foucauldian yang umum dikenal di kalangan intelektual Indonesia adalah pendekatan yang berusaha memahami bagaimana subyek dibentuk dalam jejaring relasi kuasa. Dengan kata lain, subyek yang diobyektivikasi.
Kecenderungan itulah yang kita temukan jika kita membaca buku-buku utama Foucault, seperti The Order of Things (1966), Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1963), dan Discipline and Punish (1975). Dalam buku-buku tersebut, Foucault menjelaskan bagaimana subyek atau diri (the self) itu diobyektivikasi melalui penyelidikan ilmiah atau melalui apa yang ia sebut sebagai "praktik pembelahan".
Buku kecil ini berbeda dengan buku-buku Foucault di atas. Foucault tidak lagi terobsesi oleh bagaimana diri diobyektivikasi, melainkan dengan bagaimana diri berubah menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Karena itu, persoalan yang menjadi topik utama buku ini adalah konsep "epimelçsthai sautou" atau "perawatan-diri".
Buku ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah wawancara Rux Martin dengan Michel Foucault pada 25 Oktober 1982 saat Foucault berkunjung ke Universitas Vermont untuk memberikan kuliah. Dua bagian terakhir berisi transkripsi kuliah Foucault: yang satu berjudul "Teknologi Diri", satunya lagi berjudul "Teknologi Politik Individu".
Ketiga bagian tersebut sebenarnya disatukan oleh satu persoalan, yaitu bagaimana "individu, melalui caranya sendiri atau melalui bantuan pihak lain, bisa menjalankan operasi tertentu terhadap tubuh, jiwa, pikiran, perilaku, dan cara mengadanya sendiri, sehingga dapat mentransformasi dirinya agar meraih kondisi kebahagiaan, kemurnian, kebijaksanaan, kesempurnaan, atau keabadian.". Itulah yang oleh Foucault disebut sebagai "teknologi diri".
Sementara nasihat yang biasa kita kenal dari Yunani kuno adalah "kenalilah dirimu" (gnothi sauton), Foucault menunjukkan bahwa "di dalam teks-teks filsafat Yunani-Romawi, nasihat tersebut selalu dikaitkan dengan prinsip dasar merawat diri sendiri, dan keharusan merawat diri sendiri itulah yang memungkinkan maksim Delfi (mengenali diri sendiri) dapat dilaksanakan".
Artinya, bagaimana mungkin kita bisa tahu siapa diri kita sebenarnya, sementara pada saat yang sama pengertian tentang diri kita sendiri masih ditentukan oleh pihak lain? Itu sama sekali tidak mungkin.
Maka, sebelum kita bisa mengenali diri kita sendiri, kita harus lebih dulu merawat diri kita sendiri, berusaha menjadi subyek bagi diri kita sendiri. Selama semua itu belum dilakukan, masih belum mampu menjadi subyek atas diri kita sendiri, masih terperangkap dalam dominasi dan obyektivikasi pihak lain, selama itu pula kita tidak akan pernah bisa mengenali diri kita sendiri.
Dengan demikian, prinsip perawatan-diri ini sebenarnya lebih mendasar ketimbang pengenalan-diri. Setidaknya ada lima metode perawatan-diri yang disebutkan oleh Foucault dalam analisisnya terhadap teks Alkibiades Platon, yaitu berkhalwat atau mengasingkan diri, menulis, introspeksi diri melalui deskripsi tentang apa saja yang terkait dengan diri kita sendiri, melakukan kegiatan ragawi, dan menguji hati nurani.
Selain metode dari teks Alkibiades Platon, ada tiga metode lain yang disebutkan Foucault untuk merawat diri, yaitu metode Seneca, metode Stoa, dan metode Kristen. Terlepas dari keberagaman metode yang disebutkan, dalam teks ini Foucault sebenarnya hendak menunjukkan bahwa seorang manusia seharusnya merawat dirinya sendiri lebih dulu sebelum kemudian membangun berbagai macam konsepsi tentang siapa dirinya.
Perawatan diri ini, secara sederhana, bisa dipahami sebagai upaya membebaskan diri dari segala bentuk dominasi dan obyektivikasi. Sebuah upaya untuk membiarkan diri tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Karena itu, di bagian terakhir buku ini, Foucault membahas tentang teknologi politik individu.
Teknologi politik individu ini sebenarnya merupakan bentuk lain dari teknologi kekuasaan. Melaluinya, kita sebagai individu "dipandu untuk mengenali diri kita sebagai masyarakat, sebagai bagian dari sebuah entitas sosial, sebagai bagian dari sebuah bangsa atau sebuah negara."
Dengan kata lain, teknologi politik individu adalah satu upaya eksternal untuk menyeret diri keluar dari dirinya dan tidak lagi peduli dan merawat dirinya, tapi membaktikan dirinya pada sesuatu yang lain di luar dirinya, yang lebih besar, yang berupa entitas sosial dalam bentuk negara.
Entitas sosial bernama negara inilah yang, menurut Foucault, melahirkan apa yang ia sebut "marginalisme politik". Di situ, individu dianggap penting oleh negara hanya sejauh ia dapat berguna secara politik bagi negara. Dalam struktur sosial-politik yang demikian, individu rentan untuk lupa merawat dirinya demi mendapatkan pengakuan dari negara.
Dengan demikian, teknologi politik individu, yang secara sempurna dioperasikan oleh negara, merupakan tantangan bagi upaya untuk merawat diri dan, karenanya, juga bagi upaya untuk mengenali diri. Sebab, negara sebagai teknologi politik individu tidak hanya menjelma sebagai kuasa yang mendefinisikan siapa diri kita, tapi juga sebagai kuasa yang mengatur bagaimana seharusnya tubuh kita berperilaku dan mengada.
Teknologi-teknologi Diri
Pengarang: Michel Foucault
Penerjemah: Yudi Santoso
Penerbit : Circa
Tahun terbit: Oktober, 2019
Cetakan : Pertama, Januari 2020
Halaman : vi + 124
ISBN : 978-623-7624-00-4