Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menyoal Otoritas Fatwa

Rumadi Ahmad, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam buku ini mengkaji tiga lembaga fatwa yang terdiri dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa dari tiga organisasi di atas merepresentasikan potret keagamaan memandang "yang lain".

14 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menyoal Otoritas Fatwa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul : Fatwa Hubungan Antar-agama di Indonesia: Kajian Kritis tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya
Penulis: Rumadi Ahmad
Penerbit : Gramedia
Halaman: 309 halaman
Terbit: pertama, 2016

Rumadi Ahmad, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam buku ini mengkaji tiga lembaga fatwa yang terdiri dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa dari tiga organisasi di atas merepresentasikan potret keagamaan memandang "yang lain".

Secara etimologi, fatwa berasal dari kata al-ifta', yang berarti pemberian keputusan. Dalam konteks ini, tidak semua orang memiliki legitimasi membuat fatwa atau keputusan mengenai bidang keagamaan. Hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu yang "berhak" mengeluarkan fatwa.

Kualifikasi tersebut, antara lain, adalah kecerdasan, keilmuan dalam bidang, adil dan bisa dipercaya, dan kualifikasi tambahan yang mendukung. Meskipun begitu, ini tidak lantas membuat sebuah fatwa memiliki daya paksa terhadap apa yang difatwakan kepada terfatwa. Fatwa tidak berkuatan mengikat secara personal, hanya sebentuk anjuran atas suatu perkara (hlm. 10-12).

NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam yang memiliki anggota terbesar di Indonesia. Dengan mengkaji narasi fatwa yang dikeluarkan oleh dua organisasi tersebut, tecermin pola kecenderungan pimpinan agama dalam masing-masing lingkup. Sementara itu, memasukkan MUI dalam kajian ini menambah perspektif terhadap dinamika isu hubungan antar-agama di Indonesia. Meski, secara komposisi keanggotaan, MUI diisi oleh fusi dua organisasi terdahulu.

Rumadi mengelompokkan persoalan hubungan antar-agama yang menjadi perhatian Muhammadiyah, NU, dan MUI ke dalam tiga bagian. Pertama, persoalan yang dibahas oleh semua organisasi. Misalnya, persoalan pernikahan beda agama. Kedua, persoalan yang disinggung oleh dua organisasi. Contohnya adalah persoalan menghadiri Natal dan mengucapkan selamat Natal. Ketiga, persoalan yang hanya dibahas oleh satu organisasi, yang antara lain, soal adopsi anak (MUI), dan bergaul dengan non-muslim (Muhammadiyah), menguasakan persoalan kenegaraan kepada non-muslim (hlm. 257- 260).

Kecenderungan dalam memberikan fatwa dan tidak dalam suatu persoalan menunjukkan watak politis organisasi-organisasi tersebut. Hal itu terlihat dari kecenderungan ketiganya dalam merespons tiap persoalan, bagaimana mereka memilah dan memilih untuk mengeluarkan tanggapan terhadap suatu perkara yang ada dalam masyarakat.

Sebagai lokomotif pemikiran tradisional, NU berpijak para akar pemikiran yang mengacu pada pendapat ulama-ulama terdahulu. Secara garis besar, NU menjadikan produk pemikiran ulama masa lalu sebagai acuan untuk merespons persoalan kiwari, selain tentu atas panduan Al-Quran dan sunah. Sementara itu, Muhammadiyah-yang dikenal sebagai organisasi modern-disebut kerap menjadikan Al-Quran dan As-sunah sebagai landasan utama mereka. MUI, sebagai lembaga yang didirikan pada zaman Orde Baru (1975), melengkapi produk fatwa di Indonesia (hlm. 238-244).

Secara prinsipil, dari ketiga organisasi tersebut tecermin beberapa pola hubungan antar-agama di Indonesia. Pertama, dari sisi doktrin-ritual-keagamaan. Dalam lokus ini, ketiganya memiliki cara pandang yang serupa dalam memaknai relasi tersebut. Terdapat sekat yang mengharuskan untuk menjaga jarak dengan penganut agama lain. Dalam hal doktrinal, seperti konsep ketuhanan, ketiganya "bersepakat" bahwa menjaga kemurnian ini tidak bisa diganggu gugat.

Sekat tegas juga diterapkan pada isu perkawinan lintas agama. Ketiga lembaga keagamaan tersebut melarang terjadinya perkawinan antar-agama. MUI berdasarkan Fatwa 1980 dan diperkuat pada 2005, Muhammadiyah berlandaskan Muktamar Tarjih ke-22 pada 1989, sedangkan NU mengacu pada keputusan Munas/Konbes 1960 dan Mu'tamar Mu'tabahrah tahun 1968.

Dalam bidang sosial-kemasyarakatan, misalnya, dan ini termasuk dalam pola kedua, mereka terlihat lebih lentur dan inklusif. Hubungan orang Islam dan non-muslim, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sedekah tidak mendapatkan stempel yang sama dengan perkara teologis. Dalam hal teologi terlihat watak defensif dan eksklusif yang ditujukan untuk "memagari" pengaruh agama lain. Hal ini menegaskan ada garis demarkasi dalam membuat fatwa.

Dapat ditegaskan bahwa dalam wilayah doktrin-ritual-keagamaan, ketiganya ketat dan senada. Namun, di wilayah yang bersifat duniawi, mereka memperlihatkan perbedaan satu dengan lain berdasarkan pertimbangan masing-masing. Sebab, baik Muhammadiyah, NU, maupun MUI memiliki karakteristik yang berbeda.AHMAD KHOTIM MUZAKKA, (alumnus Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus