Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Sejumlah ahli dan praktisi hukum menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi masih berpeluang untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan ada ayat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bisa dijadikan dasar bagi jaksa penuntut umum mengajukan PK. "Jaksa penuntut umum KPK memiliki kedudukan hukum serta tidak memiliki hambatan hukum normatif untuk mengajukan PK terhadap putusan kasasi Syafruddin," kata Feri kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK tengah menggodok pilihan upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin sebagai terpidana dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Putusan itu menyatakan Syafruddin terbukti menerbitkan surat keterangan lunas kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan menyebabkan negara rugi Rp 4,58 triliun. Namun dua hakim menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin bukan tindak pidana. Sedangkan hakim yang menyatakan perbuatan Syafruddin memenuhi unsur pidana hanya satu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feri membantah pendapat yang menyatakan bahwa jaksa KPK tak bisa mengajukan PK lantaran terhambat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Feri, putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 bukan penghambat. Sebab, putusan itu terbit karena pengujian Pasal 263 ayat 1 KUHAP saja. Sedangkan Pasal 263 ayat 3 menyebutkan bahwa PK bisa dilakukan apabila putusan kasasi menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti, tapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
Dalam amar putusan kasasi, hakim menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. "Artinya, ketentuan Pasal 263 ayat 3 dapat dijadikan dasar bagi jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi Syafruddin," kata Feri. Ia menambahkan, ayat 3 dalam aturan yang sama mengatur ihwal hak pihak lain yang bukan terpidana atau ahli warisnya, untuk mengajukan PK.
Selain itu, Feri mengatakan, ayat 2 di pasal yang sama bisa menjadi bahan argumentasi KPK untuk meyakinkan bahwa jaksa bisa mengajukan PK. Ayat tersebut mengatakan PK bisa dilakukan jika putusan kasasi memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Ia menilai, perbedaan pendapat ketiga hakim kasasi sudah cukup membuktikan bahwa putusan tersebut menunjukkan kekeliruan.
Pendapat senada diutarakan pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Pujiyono. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi ini mengatakan Mahkamah Agung pernah menerima PK yang diajukan jaksa. "Yurisprudensi itu bisa dijadikan cantolan kebijakan untuk mengajukan PK," katanya.
Peluang KPK, kata Pujiyono, akan kuat karena ada kesalahan majelis kasasi dalam pengambilan putusan. Sebab, alih-alih mempertimbangkan proses pembuktian di pengadilan tingkat sebelumnya, hakim kasasi malah mempersoalkan ranah kasus. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua hakim yang menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin adalah perkara perdata dan perkara administrasi.
Menurut Pujiyono, pendapat hakim yang tidak menyebut perbuatan Syafruddin sebagai tindak pidana adalah kesalahan yang nyata. Ia mengatakan KPK menemukan penyelewengan dalam penerbitan surat keterangan lunas yang diberikan kepada pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, selaku obligor BLBI. Terlebih, kata dia, KPK sudah membuktikan adanya mens rea dari Sjamsul ketika membayar utang BLBI dengan aset bermasalah. "Inilah yang kemudian memunculkan tindak pidana," katanya.
Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, mengatakan KPK belum memutuskan langkah hukum apa yang akan diambil. Ia mengatakan KPK akan menentukan sikap setelah menerima salinan putusan lengkap kasasi Syafruddin. "Tunggu saja, mungkin seminggu atau dua minggu lagi," ucap dia. ARKHELAUS WISNU | MAYA AYU PUSPITASARI
Aturan Peninjauan Kembali dan Gugatan Perdata
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo