Salafi ala Arab Saudi di Malaysia dan Indonesia
Prioritas politik Arab Saudi berganti. Namun pengaruh mereka tetap terasa di Asia Tenggara, terutama di Malaysia dan Indonesia.
Arab Saudi menghabiskan beberapa dekade untuk menyebarkan label Islam mereka di Asia Tenggara. Meski pendanaan resmi dari Kerajaan Saudi tak lagi terlalu terlihat, investasi mereka di Malaysia telah menuai hasil.
Telah menjadi pengetahuan banyak orang bahwa pemerintah Arab Saudi mendanai sekolah, masjid, dan institusi secara global demi menyebarkan paham Wahabi—juga dikenal sebagai Salafi—mereka.
Keyakinan tersebut mendukung pendirian negara Islam, sementara demokrasi ala Barat dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat. Pandangan itu dapat membahayakan demokrasi, seperti di Malaysia, di mana penganut Salafi memiliki pengaruh politik relatif tinggi.
Indonesia dan Malaysia yang mayoritas muslim menjadi sasaran utama mesin propaganda Arab Saudi di Asia Tenggara. Terlebih di Indonesia, yang merupakan negara dengan populasi penduduk Islam terbanyak di dunia.
Baca: Ruang Akrobat Kaum Salafi
Penyebaran pengaruh ini telah berlangsung sejak sekian dekade lalu, yang kebanyakan lewat koneksi pendidikan. Hasilnya, paham Wahabi/Salafi telah tertanam kuat di kedua negara.
Siswa membaca buku dari mobil perpustakaan keliling di Jawa Tengah, 22 Agustus 2023. ANTARA/Yusuf Nugroho
Di Asia Tenggara, akademikus biasa merujuk penganut Wahabi sebagai Salafi. Salafisme mengacu pada interpretasi Islam yang bertujuan mengembalikan akidah dan ibadah seperti pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Pandangan itu sangat dekat dengan Wahabisme dan kebanyakan penganutnya di Asia Tenggara lebih suka disebut sebagai Salafiyah. Generasi awal kaum muslimin, yang dikenal sebagai Salaf, merupakan golongan yang paling dekat dengan Nabi Muhammad, baik secara waktu maupun jarak.
Para penganut Salafi memiliki pengaruh dalam sistem politik Malaysia ketimbang Indonesia karena mereka menempati posisi menengah dan tinggi, baik di partai politik maupun di lembaga pemerintah. Namun banyak warga muslim dan komunitas lain di kedua negara itu yang salah sangka. Mereka dianggap sebagai kaum Islam konservatif, bukan Salafiyah.
Warga sekitar mengabaikan persamaan penganut Salafi di Malaysia dan Indonesia, yaitu tak memandang demokrasi dan pluralisme sebagai sistem politik yang baik. Sebagian penganut Salafi meyakini bahwa meraih kekuasaan politik merupakan syarat pendirian negara Islam.
Pengaruh politik Arab Saudi akan selalu ada di Malaysia dan Indonesia karena koneksi pendidikan yang terbangun pada 1980-an. Meski demikian, pengaruh politik Arab Saudi sebenarnya sulit dipetakan karena cuma secuil penganut yang menunjukkan paham Salafiyah mereka secara terbuka.
Berkat guyuran uang dari booming minyak pada akhir 1970-an, Arab Saudi mulai memanfaatkan pendidikan sebagai metode utama dalam menyebarkan Salafisme ke Asia Tenggara dan belahan lain di dunia. Kedutaan besar mereka di Jakarta dan Kuala Lumpur memiliki atase keagamaan yang bertugas merekrut pelajar dan memupuk hubungan dengan organisasi-organisasi yang bersahabat dengan Salafiyah. Kedutaan besar juga mendanai pembangunan masjid, pesantren, dan berbagai acara organisasi Islam.
Motivasi utama Arab Saudi, bagian dari sekte Sunni di Islam, adalah menegaskan pengaruh mereka di Indonesia dan Malaysia dalam kompetisi dengan Iran. Arab Saudi khawatir jika sekte Syiah asal Iran ikut berkembang di Indonesia dan Malaysia.
Ribuan pelajar Asia Tenggara diberikan beasiswa untuk kuliah di universitas-universitas di Arab Saudi. Pemerintah Malaysia ikut mendanai pelajarnya untuk kuliah di Arab Saudi. Para pelajar dengan biaya swadaya direkrut lewat hubungan personal dengan sekolah agama di Arab Saudi atau alumni di kedua negara.
Banyak akademikus lulusan Arab Saudi membuka madrasah sekembalinya mereka ke Tanah Air. Ada juga yang berkarier di jalur non-keagamaan. Di Malaysia, banyak alumni Arab Saudi menjadi pegawai negeri dan guru/dosen sembari tetap mempertahankan hubungan dengan kerabat-kerabat mereka di perantauan.
Lulusan Arab Saudi kini dapat ditemui di setiap strata sosial di Indonesia dan Malaysia. Sebagian dari mereka menjadi figur penting di bidang keagamaan dan politik. Di antara mereka, yang paling berpengaruh adalah yang menjadi ulama.
Sebagian ulama tersebut mendirikan madrasah sendiri agar tak perlu mengikuti kurikulum nasional. Beberapa dari mereka juga memperoleh status sebagai pakar dan sering tampil di media arus utama untuk berpendapat soal kebijakan publik dan pemerintah.
Gonjang-ganjing politik akibat naiknya Mohammad bin Salman sebagai penguasa Arab Saudi pada 2017 membatasi dampak gerakan Salafiyah di Asia Tenggara. Pangeran Mohammad lebih menekankan kerja sama ekonomi ketimbang menyebarkan keyakinan Arab Saudi. Kebijakan ini sesuai dengan rencana besarnya untuk memodernisasi ekonomi negara itu, terutama dengan tak lagi bersandar pada minyak.
Pendanaan resmi jaringan Salafi di Asia Tenggara sebagian besar telah dihentikan. Kini, pendanaan berlangsung lewat hubungan personal dengan yayasan dan lembaga donor di Arab Saudi.
Seorang siswi mengerjakan tugas sekolah di Jawa Barat, 8 September 2021. TEMPO/Prima Mulia
Sulit untuk mempelajari gerakan Salafiyah, baik di Indonesia maupun di Malaysia, karena mereka tersebar dan tak memiliki struktur organisasi yang baku. Di Indonesia, organisasi yang kerap diasosiasikan dengan pengaruh Arab Saudi adalah sebuah perguruan tinggi agama di Jakarta dan sejumlah lembaga dakwah. Kelompok militer seperti Laskar Jihad dan Jamaah Islamiyah juga diketahui terpengaruh ajaran Salafi.
Sejumlah penganut murni Salafiyah menolak pandangan perlunya mereka berpolitik. Mereka merasa perlu berkonsentrasi penuh pada pengajaran. Sedangkan sebagian lainnya meyakini bahwa, untuk bisa mendirikan negara Islam, mereka harus berpolitik.
Gerakan Salafi di Indonesia meliputi sebuah partai politik, meski ada juga penganut Salafi yang aktif di parpol lain. Pemimpin politik Salafi tak terang-terangan menyebut mereka sebagai penganut Salafiyah.
Di Malaysia, akar pengaruh Salafi kurang-lebih sama dengan Indonesia, dengan satu pengeculian. Sebelum 2018, kekuatan politik utama di Malaysia adalah United Malays National Organisation (UMNO) yang berbasis Islam. Pada awal 2000-an, ulama Salafi mulai masuk UMNO, terutama menyasar ulama muda UMNO. Mereka diterima oleh UMNO karena menjadi legitimasi untuk menghadapi rival politik utama mereka, Parti Islam Se-Malaysia.
---
Artikel ini ditulis oleh James Chin, guru besar studi Asia di University of Tasmania dan peneliti di Sunway University's Jeffrey Cheah Institute, Malaysia. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.