Dari konflik akibat intoleransi mereka lahir. Mereka merajut damai di tengah orang-orang yang bertikai, merekatkan kembali kepingan Republik yang pecah akibat konflik bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ini bukan tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada Mei lalu menerima World Statesman Award, melainkan kisah Lian Gogali di Poso, Tuan Guru Subki Sasaki di Lombok, hingga Sofyan Tan di Medan. Inilah kisah para perekat Republik. Dirgahayu Indonesia.
"Ayah, kapan kita pulang ke rumah sendiri?" Maryam Nur Sidikah, 6 tahun, suatu kali bertanya kepada Sahidin.
Kali lain, adiknya, Muhammad Khotaman Nabiyyin, yang menanyakannya. "Kenapa kami tak seperti anak-anak lain yang pulang ke rumah sendiri?" kata koordinator pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu mengutip pertanyaan anak terkecilnya.
Tujuh tahun sudah keluarga Sahidin dan 31 keluarga penganut Ahm
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.