TikTok dan Penyebaran Informasi Palsu

TikTok menjadi tempat penyebaran disinformasi dan pengaburan fakta. Ancaman nyata terhadap integritas proses demokrasi.

Ika Idris

Senin, 9 September 2024

DISINFORMASI dalam bentuk video yang menghibur di TikTok jauh lebih berbahaya daripada konten yang terang-terangan mengandung ujaran kebencian. Ketimbang teks, format audiovisual membuat informasi palsu lebih sulit dikenali. Efeknya halus, tapi berdampak besar. 

Pemerintah di berbagai negara melarang TikTok karena khawatir platform ini menjadi sumber penyebaran propaganda, ujaran kebencian, konten manipulatif, dan kampanye provokatif. Platform ini juga dituduh membahayakan anak-anak, membuka ruang bagi pengaruh kelompok teroris, mengeksploitasi data pribadi, dan mengumpulkan informasi penting pemerintah. 

Setidaknya 34 negara pernah melarang atau tengah melarang platform berbasis video populer ini, yang penggunanya mencapai 1 miliar di seluruh dunia. Amerika Serikat, negara kedua dengan pengguna terbanyak, melarang TikTok karena khawatir akan keamanan data. Pemerintah AS khawatir perusahaan induk TikTok yang berbasis di Cina, ByteDance, akan membagikan data dengan pemerintah Cina dan menggunakannya untuk mempengaruhi pemilihan presiden AS.

Indonesia, negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia (127 juta), pernah melarang TikTok Shop karena melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang perdagangan elektronik. TikTok Shop adalah fitur yang memungkinkan merek dan produsen menjual produk mereka secara langsung tanpa harus meninggalkan aplikasi. 

Larangan ini diterapkan bersamaan dengan masa kampanye presiden pada Oktober 2023 oleh Menteri Perdagangan Indonesia, yang juga merupakan ketua partai politik bagian dari Koalisi Indonesia Maju. Dua bulan kemudian, bertepatan dengan dimulainya debat kandidat presiden, larangan tersebut dicabut. Dalam pilres 2024, TikTok menjadi platform paling kuat dalam mendongkrak citra Prabowo-Gibran.

Sebagai salah satu saluran komunikasi utama saat ini, media sosial memainkan peran vital pada masa pemilihan dengan menciptakan perhatian, membentuk persepsi, menetapkan agenda kebijakan, dan menarget pemilih. Sepanjang 2024, saat pemilihan berlangsung di seluruh dunia, TikTok menjadi outlet utama bagi banyak kandidat untuk menjangkau audiens baru dan mempertahankan yang sudah ada. 

Perbedaan Informasi di TikTok dengan Platform Lain

Setidaknya ada empat alasan informasi di TikTok lebih berdampak daripada di platform lain. Pertama, platform berbasis video ini ternyata lebih memikat (engaging) ketimbang platform media sosial lainnya. Menurut laporan Digital Global Overview 2024, pengguna menghabiskan waktu di TikTok rata-rata 34 jam per bulan, sedangkan di YouTube hanya 28 jam, Facebook 19 jam 47 menit, dan WhatsApp Messenger 17 jam.

Laporan yang sama menyebutkan, dibanding platform lain, pengguna kebanyakan mengakses TikTok untuk mencari konten lucu atau menghibur (80 persen). Dengan kata lain, TikTok adalah platform yang dituju untuk mengisi waktu luang.

Kedua, dibanding platform lain, TikTok lebih menarik bagi anak muda. Di AS, sebanyak 63 persen penggunanya adalah remaja dan sekitar 58 persen dari mereka mengakses platform ini setiap hari. Sekitar 17 persen dari pengguna ini mengatakan mereka hampir terus-menerus menggunakan aplikasi tersebut.

Sebuah studi oleh Google menemukan bahwa 40 persen Gen Z di AS kini menggunakan TikTok untuk mencari informasi di Internet ketimbang situs web pencari. Sayangnya, hasil pencarian teratas di TikTok sering mengandung misinformasi.

Ketiga, sifat multimodal dari konten video membuat informasi dapat terserap dengan cepat dan tersimpan lebih lama—yang akhirnya sangat efektif untuk proses pembentukan opini. Di TikTok, visual yang mudah dicerna ini juga dikombinasikan dengan kemudahan mengganti video hanya dengan geseran jari (swipe) sehingga kegiatan menonton jadi minim usaha dan pasif.

Visual, terutama "potongan gambar", lebih efektif daripada pesan verbal dalam membentuk opini pemilih dan memperkuat ingatan. Di TikTok, informasi visual diproses cepat dan tanpa usaha sehingga akan sangat efektif bagi sebuah informasi untuk terintegrasi ke dalam memori penonton. 

Namun efektivitas ini juga memiliki sisi negatif karena pengguna menganggap gambar dan audio lebih dapat merepresentasikan realitas ketimbang teks. Hasilnya, video disinformasi akan lebih cepat diserap, kuat menempel di ingatan, dan lebih sulit untuk dikonter.  

TikTok dan Penyebaran Disinformasi

Algoritma TikTok cenderung menampilkan lebih banyak konten dari spektrum politik liberal—seperti #blacklivesmatter, #woke, atau #policereforms—yang dapat mempertajam polarisasi dan ide-ide konservatif serta lebih mungkin menciptakan ruang gema daripada diskusi terbuka.

Dalam invasi Rusia ke Ukraina dan serangan Israel di Gaza, TikTok memungkinkan narasi propaganda beredar, menciptakan polarisasi antara kaum muda politik sayap kiri dan kelompok pro-Palestina dengan narasi lainnya. Para pengguna TikTok banyak membagikan video, informasi terbaru, atau opini berdasarkan informasi yang belum diverifikasi yang mereka ambil dari platform lain.

Di Indonesia, banyak konten TikTok terkait dengan Rusia yang berisi disinformasi. Para pembuat konten biasanya mengambil video dari akun-akun Telegram pro-propaganda Rusia tanpa memverifikasi kebenaran informasinya. Mereka membingkai narasi konten yang bias pro-Rusia melalui judul, narasi, musik, atau tagar tertentu dan membagikan video dengan sumber yang tidak jelas.

Pembuat konten biasanya membiarkan sendiri penontonnya menyimpulkan informasi sesuai dengan perspektif dan bias mereka. Pembuat konten juga sering menghubungkan informasi pro-Rusia dengan peristiwa yang tidak terkait sama sekali, yang bertujuan mendelegitimasi keputusan pemerintah ihwal serangan Israel ke Palestina atau invasi AS di Afganistan. 

Dalam dua pemilihan di Asia Tenggara, TikTok juga memainkan peran penting dalam merekayasa citra kandidat presiden dan mengaburkan masa lalu mereka yang kontroversial. Di Filipina, misalnya, narasi tentang kekayaan Ferdinand Romualdez Marcos Jr. bergeser dari simbol korupsi Marcos Sr. menjadi hasil kerja keras sebagai praktisi hukum.

Demikian pula di Indonesia, Prabowo Subianto diimajinasikan ulang di TikTok sebagai figur bapak yang humoris dan menggemaskan, jauh berbeda dari keterlibatannya dalam penculikan aktivis pada 1998. Strategi penyebaran disinformasi di TikTok dalam bentuk "infotainment" ini berkontribusi besar pada kemenangan elektoral Marcos Jr. dan Prabowo.

Pendukung Prabowo menyebut pendekatan ini sebagai "politik kreatif", strategi yang dianggap jauh berbeda dengan kampanye “tradisional” yang selama ini menggunakan ujaran kebencian di media sosial. Sebaliknya, disinformasi yang dikemas dengan konten hiburan jauh lebih mudah diterima, apalagi dapat secara halus menanamkan narasi baru tanpa mendapat pertentangan yang berarti. 

Pada isu investasi nikel Cina di Sulawesi, misalnya, narasi yang ada di TikTok ramai dengan tema rasa bangga bekerja di perusahaan asing ataupun kekaguman terhadap pekerja asal Cina yang tampan atau cantik. Narasi-narasi tersebut sangat kontras dengan narasi aktivis lingkungan tentang kerusakan ekologi, penggusuran masyarakat adat, dan meningkatnya masalah kesehatan.  

Selain itu, kita harus waspada terhadap misinformasi dan disinformasi ihwal isu-isu non-politik, seperti produk, merek, pendidikan kesehatan, dan teori konspirasi. TikTok juga kini menjadi platform penting dalam menggalang bantuan kemanusiaan atau sumbangan dan masih tidak transparan siapa penerima akhirnya.

Di AS, total jangkauan iklan TikTok mencapai 148 juta pengguna dan di Indonesia mencapai 126,8 juta pengguna. Negara kita telah menjadi pasar terbesar TikTok Shop, dengan sekitar 18 persen audiens iklan berusia 18-24 tahun. Pemengaruh yang menjual produk kecantikan, perawatan kulit, pakaian, dan peralatan dapur kini memainkan peran signifikan dalam membuat konten serta menciptakan interaksi (engagement). 

Fitur unik TikTok yang menggabungkan hiburan dan daya tarik visual telah memposisikannya sebagai alat yang kuat untuk membentuk opini publik, sebuah lahan subur untuk menyebarkan disinformasi. Konten disinformasi berbungkus musik dan elemen hiburan lainnya memiliki efek yang halus serta memikat, seolah-olah video-video tersebut berisi informasi lucu-lucuan yang tidak berbahaya. Namun platform ini menjadi ancaman nyata terhadap integritas proses demokrasi di seluruh dunia. 

Saat TikTok terus mempengaruhi berbagai lanskap politik, pemerintah, masyarakat sipil, dan publik, kita mesti tetap kritis terhadap konten ringan serta penuh hiburan di platform ini, apalagi yang menyangkut politik dan kebijakan pemerintah. Pertarungan melawan disinformasi bukan hanya tentang memerangi konten berisi ujaran kebencian atau konten yang mengadu domba. Pertarungan ini juga mesti mencakup upaya mengidentifikasi kebohongan dan manipulasi informasi dalam konten-konten yang menghibur. 

Berita Lainnya