Pemilu Berkeadilan Tinggal Angan-angan

Pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai keberpihakan dan berkampanye dalam pemilihan umum merusak angan-angan pemilu berkeadilan. Jokowi harus membedakan hak politiknya sebagai warga negara dengan posisinya sebagai pejabat publik.

Seira Tamara

Rabu, 31 Januari 2024

Seira Tamara

Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Ucapan Presiden Joko Widodo pada Rabu, 24 Januari 2024, yang menyatakan bahwa presiden dan menteri boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, mengindikasikan harapan akan gelaran pemilu yang berkeadilan tinggal angan-angan.

Pernyataan lantang Presiden di depan sejumlah menteri dan petinggi TNI itu sesungguhnya bertentangan dengan ucapannya tiga bulan sebelumnya. Pada Oktober 2023, Jokowi menyatakan bahwa dirinya tidak akan berpihak dan akan mendukung seluruh pasangan calon yang berkontestasi dalam pemilihan presiden 2024. Ketika itu pun, sudah banyak pihak yang sangsi akan pernyataan Jokowi tersebut. Terutama karena ia sengaja membangun dinasti politik dan merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang berkontestasi dalam pilpres 2024 melalui rentetan proses yang bermasalah secara hukum dan etik.

Meski keraguan akan netralitas Presiden sudah mengemuka sebelumnya, langkah Jokowi yang secara gamblang menyampaikan dirinya boleh memihak dalam pemilu tak pelak menimbulkan kontroversi. Sebab, pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa Jokowi kali ini tidak akan tanggung-tanggung lagi dalam memperlihatkan di sisi mana dia berdiri.

Posisi presiden sebagai pejabat publik sekaligus politikus tak lantas membenarkan tindakannya dalam mengeluarkan pernyataan tak etis seperti itu. Terlebih Jokowi menyatakan hal tersebut di hadapan Prabowo Subianto yang sedang menjadi calon presiden, berpasangan dengan Gibran. Publik tentu langsung bisa menangkap ke mana keberpihakan Jokowi mengarah. Apalagi sebelum ini pun arah dukungannya sudah terlihat, misalnya dengan aktif mengadakan pertemuan bersama para elite partai politik pengusung Prabowo-Gibran.

Dalih bahwa keterlibatan presiden dalam kampanye diperbolehkan oleh Pasal 281 Undang-Undang Pemilu juga tak cukup menjadi tameng untuk melindungi pernyataan kontroversialnya. Sebab, sikap dan ucapan Jokowi secara jelas bertentangan dengan ketentuan lain dalam aturan tersebut, yakni Pasal 282 UU Pemilu. Pasal tersebut melarang adanya pembuatan keputusan maupun tindakan oleh pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa yang dapat menguntungkan atau merugikan peserta pemilu selama masa kampanye. Ketentuan inilah yang seharusnya menjadi batasan bagi Jokowi dalam menunjukkan keberpihakannya.

Semestinya Jokowi mengadopsi semangat di balik pemberian imbauan dan instruksi netralitas bagi aparatur sipil negara (ASN), prajurit TNI, dan anggota Polri yang sudah diserukan secara masif sejak rangkaian Pemilu 2024 dimulai. Meski benar bahwa karakteristik jabatan presiden berbeda dengan ASN, TNI, dan Polri, terdapat esensi untuk menjaga profesionalitas dalam bekerja serta kesadaran bahwa adanya potensi mempengaruhi dan dipengaruhi jika tiga kluster tadi tidak bersikap netral. Lantas, bagaimana dengan posisi presiden sebagai pucuk pimpinan pemerintahan serta pemimpin tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara? Jelas pengaruh yang dimilikinya sangatlah besar. Sehingga keliru apabila Jokowi merasa jabatannya tidak mengharuskan dirinya untuk bersikap netral. Terlebih, berbagai pemangku kepentingan selalu didorong untuk menjaga profesionalitas dan integritas penyelenggaraan pemilu. Hal ini tidak akan bisa tercapai jika presiden yang justru tidak menjalankan sikap tersebut dengan secara terbuka bersikap tak netral. 

Jokowi juga perlu memahami bahwa kewajibannya sebagai pejabat publik untuk bersikap netral berbeda dengan hak politiknya sebagai warga negara. Dua hal ini mampu berjalan tanpa saling bertabrakan. Sebagai bagian dari warga negara, Jokowi tentu berhak menentukan pilihan dan ikut memilih pada 14 Februari nanti. Namun, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dirinya wajib menjaga dan memastikan agar pilihannya tidak berdampak pada terganggunya profesionalitas aparatur negara dalam menjalankan tugasnya. Apalagi aparatur negara dibayar dengan anggaran negara dan dimandatkan untuk memberi pelayanan yang bertujuan melindungi keamanan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh, pilihan Jokowi sebagai presiden juga tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi preferensi publik dalam membuat keputusan dalam menggunakan hak pilihnya.

Kekuatan, pengaruh, serta sumber daya yang melekat pada jabatan presiden yang diemban Jokowi harus digunakan secara bijak dan etis. Hal ini penting dalam mendukung terlaksananya pemilu yang seimbang dan berkeadilan, bukan justru digunakan untuk memotori kompetisi secara timpang. 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Berita Lainnya