Angkringan

Heru Priyatmoko,
Pengamat Sejarah Solo

Kalau perut warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung jenis inilah penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya dengan merogoh kocek kurang dari sepuluh ribu rupiah.

Menurut riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata "nangkring", yaitu pantat duduk di kursi panjang di depan gerobak, tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki berayun sembari nglaras (santai). Sedangkan istilah "hik" berasal dari suara penjajanya yang menawarkan dagangan sewaktu berkeliling. Dulu, sebelum beralih memakai gerobak dan mangkal di pinggir jalan, hik dibawa oleh penjualnya dengan cara dipikul dan keluar-masuk kampung menyapa pembeli.

Selasa, 23 September 2014

Heru Priyatmoko,
Pengamat Sejarah Solo

Kalau perut warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung jenis inilah penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya dengan merogoh kocek kurang dari sepuluh ribu rupiah.

Menurut riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata "nangkring", yaitu pantat duduk di kursi panjang di depan ger

...

Berita Lainnya