Nyadran dan Kohesi Sosial

Aris Setiawan,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam leluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara kolektif menjelang bulan puasa atau Ramadan. Aktivitas ini bukan semata ungkapan ekspresi religius masyarakat Jawa, tapi juga kultural. Tradisi ini menjadi simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyangnya. Di wilayah itu, orang Jawa menyadari bahwa dirinya memiliki garis keturunan, tidak lahir secara tiba-tiba. Karena itu, mereka dituntut untuk berbakti, menghargai jasa para leluhur dengan berkirim doa. Hubungan kekerabatan tidak putus walaupun ajal telah menjemput. Ritual nyadran biasanya diisi dengan aktivitas membersihkan makam, selamatan atau kenduri, membuat kue apem dan ketan. Di sisi lain, nyadran juga menjadi sarana implementasi terbentuknya kohesi sosial masyarakat Jawa.

Jumat, 27 Juni 2014

Aris Setiawan,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam leluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara kolektif menjelang bulan puasa atau Ramadan. Aktivitas ini bukan semata ungkapan ekspresi religius masyarakat Jawa, tapi juga kultural. Tradisi ini menjadi simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyang

...

Berita Lainnya