Sesat Pikir dalam Melihat Regulator Penyiaran

Puji Rianto,
PENELITI PUSAT KAJIAN MEDIA DAN BUDAYA POPULER (PKMBP)

RUU Penyiaran yang baru tengah dibahas di DPR. Dua paradigma dalam mengelola penyiaran saling berkontestasi, yakni paradigma demokratis yang diusung DPR dan otoritarianisme versi pemerintah. Menurut versi DPR, regulator penyiaran tetap harus dibagi dua, yakni pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pemerintah berwenang memberikan izin penetapan frekuensi sesuai dengan mandat International Telecommunication Union (ITU), sedangkan KPI berhak memberikan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).

Sedangkan menurut versi pemerintah, KPI lebih baik hanya mengawasi isi siaran, sehingga nama yang lebih pas bukan KPI, melainkan Komisi Pengawas Isi Siaran (KPIS). Tampaknya visi inilah yang coba diadvokasi Abdul Salam Taba, yang dimuat di rubrik Pendapat di Koran Tempo edisi 3 Oktober 2013 berjudul "Ketika Kewenangan KPI Dipersoalkan". Sayangnya, advokasi tersebut memunculkan logika yang kurang tepat. Seolah-olah ketetapan ITU tidak membenarkan KPI mengeluarkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) karena hanya ada satu administrator telekomunikasi di setiap negara. Padahal KPI boleh mengeluarkan IPP, sementara pemerintah mengeluarkan izin penetapan frekuensi sebagai administrator telekomunikasi.

Rabu, 9 Oktober 2013

Puji Rianto,
PENELITI PUSAT KAJIAN MEDIA DAN BUDAYA POPULER (PKMBP)

RUU Penyiaran yang baru tengah dibahas di DPR. Dua paradigma dalam mengelola penyiaran saling berkontestasi, yakni paradigma demokratis yang diusung DPR dan otoritarianisme versi pemerintah. Menurut versi DPR, regulator penyiaran tetap harus dibagi dua, yakni pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pemerintah berwenang memberikan izin penetapan frekuensi sesuai dengan ma

...

Berita Lainnya