Kesuksesan Piala Dunia Wanita Berkat Siapa
FIFA membanggakan kesuksesan Piala Dunia Wanita 2023. Percuma jika persoalan gaji dan keselamatan pemain tak dibenahi.
Tempo
Senin, 21 Agustus 2023
Pada menit ke-92 partai penentuan fase grup Piala Dunia Wanita 2023, penyerang Afrika Selatan, Hilda Magaia, membuat sensasi. Hilda, yang sepekan sebelumnya mencetak gol pertama Afrika Selatan dalam Piala Dunia Wanita 2023, berlari melewati tiga bek Italia, mengirim umpan lambung ke Thembi Kgatlana, yang kemudian melesakkan bola ke gawang. Afrika Selatan, dalam keikutsertaan pertama mereka di Piala Dunia Wanita, melaju ke babak 16 besar.
Kemenangan 3-2 Afrika Selatan atas Italia pada 2 Agustus 2023 itu bisa dibilang kejutan terbesar Piala Dunia Wanita 2023. Meski banyak juga hasil di luar dugaan lainnya, seperti Nigeria mengalahkan tuan rumah Australia, Kolombia mengalahkan Jerman pada menit terakhir, Portugal menahan imbang tim kuat Amerika Serikat, dan Jamaika melaju dari fase grup dengan menyisihkan Brasil. Seperti kata banyak pengamat, kekuatan antarnegara semakin merata.
Kekuatan yang merata itu dibarengi dengan meningkatkan popularitas sepak bola wanita. Penjualan tiket stadion di Australia dan Selandia Baru jauh melampaui target. Penonton yang menyaksikan siaran langsung Matildas—julukan tim nasional sepak bola wanita Australia—memecahkan rekor tertinggi dan penjualan merchandise mereka jauh melampaui timnas laki-laki.
Situasi ini menjadikan Presiden FIFA Gianni Infantino, seperti yang dia bilang, menjadi "pria yang bahagia". Namun, sesungguhnya, para perempuan di lapanganlah yang paling berjasa atas capaian tersebut. Bukan para laki-laki di FIFA.
Baca: Isu Gender di Piala Dunia Wanita
Piala Dunia Wanita ini merupakan panggung akbar bagi Infantino untuk merayakan FIFA 2.0. Sebab, ini turnamen pertama yang dibentuk, dikembangkan, dan dilaksanakan setelah penyusunan peta jalan restrukturisasi badan sepak bola dunia tersebut.
Peta jalan tersebut disusun pada 2016 setelah terbongkarnya korupsi besar di FIFA. Reformasi dilangsungkan lewat FIFA 2.0 dengan janji transparansi, akuntabilitas, dan kerja sama. Agenda besarnya adalah komitmen untuk mengembangkan sepak bola wanita dan, mengutip kata-kata FIFA, membawanya ke arus utama.
Suporter Inggris pada pertandingan Piala Dunia Wanita di Stadium Australia, Sydney, Australia, 20 Agustus 2023. REUTERS/Amanda Perobelli
Tak diragukan, banyak antusiasme seputar Piala Dunia Wanita 2023 muncul berkat dukungan dan investasi besar FIFA bagi sepak bola wanita. Kisah sukses ini tak lepas dari seruan FIFA untuk memperluas turnamen itu menjadi 32 tim, meski sempat ada kekhawatiran keputusan itu diambil Infantino berdasarkan pertimbangan investasi dari sejumlah negara yang "punya kesempatan untuk lolos".
FIFA juga menyediakan hadiah terbesar bagi turnamen olahraga wanita, dengan menaikkan hadiah lebih dari tiga kali lipat, dari setara Rp 459 miliar pada empat tahun lalu menjadi setara Rp 1,68 triliun. Setelah puluhan tahun didera kekurangan anggaran dan bayaran, para pemain sepak bola perempuan mulai melihat adanya pengakuan dan penghargaan atas kerja keras mereka.
Anggaran tambahan setara Rp 651 miliar telah FIFA alokasikan sebagai persiapan pendanaan dan tunjangan klub. FIFA juga memperkenalkan anggaran setara Rp 750 miliar sebagai bayaran pemain dalam Piala Dunia Wanita 2023. Artinya, setiap atlet yang terdaftar setidaknya mendapat Rp 459 juta.
Meski masih ada jurang pemisah antara Piala Dunia Pria dan Wanita—hadiah Piala Dunia 2022 tiga kali lebih besar ketimbang Piala Dunia Wanita 2023, FIFA telah memberikan target penyediaan bayaran yang sama antargender dalam semua kompetisi pada 2027.
Lonjakan jumlah uang hadiah tersebut didukung oleh strategi komersial baru yang tak lagi memperlakukan sponsor dan hak siar media sebagai spekulasi. Dengan anggaran hak siar lebih dari Rp 7,6 triliun sebagai tambahan insentif bagi pemain, turnamen terbaru ini menunjukkan tanda-tanda progresif di bawah FIFA 2.0.
Meski FIFA menunjukkan kemajuan, kita perlu mencari tahu siapa yang paling berperan dalam upaya menyejajarkan sepak bola pria dan wanita ini. Jurnalis sepak bola Rory Smith menilai perluasan Piala Dunia Wanita telah "berjalan meski asosiasi negara ... alih-alih berjalan berkat asosiasi negara."
Kesuksesan Piala Dunia Wanita 2023 ditentukan oleh sejumlah faktor yang tak ada hubungannya dengan FIFA ataupun turnamen itu sendiri. Contohnya, promosi FIFA soal peningkatan nilai hadiah uang tak menjamin para pemain sepak bola perempuan mendapat bayaran atas kerja mereka. FIFA menyerahkan urusan pembayaran itu sepenuhnya kepada federasi tanpa kewajiban menyerahkan uang keikutsertaan Rp 459 juta tersebut ke setiap pemain.
Hal ini meresahkan mengingat munculnya perselisihan antara pemain dan federasi Kanada, Jamaika, serta Afrika Selatan menjelang Piala Dunia Wanita 2023. Ketiga tim nasional tersebut menuntut penyetaraan antara timnas perempuan dan laki-laki soal bayaran, bonus, kondisi kerja, serta sumber daya.
Timnas Nigeria dikabarkan mempertimbangkan memboikot pertandingan perdana akibat pembayaran yang ditahan dan campur tangan federasi. Di Inggris, yang sepak bola perempuannya relatif lebih profesional dan mendapat dukungan lebih baik, ada perbedaan pendapat antara para pemain dan federasi soal bonus Piala Dunia Wanita 2023 ini.
Di luar soal ketidaksetaraan upah, pelecehan dan penyalahgunaan wewenang terus mengganggu sepak bola perempuan. Sejumlah peserta Piala Dunia 2023 merupakan tempat munculnya laporan pelecehan, yaitu Argentina, Australia, Kanada, Kolombia, Haiti, Irlandia, Belanda, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Kasus Amerika Serikat yang paling disorot. Investigasi independen yang berlangsung sepanjang tahun menemukan fakta bahwa Liga Sepak Bola Wanita AS merupakan "liga di mana pelecehan verbal dan emosional serta kejahatan seksual berlangsung secara sistemik, mencakup beberapa anggota tim, pelatih, dan korban."
Laporan tersebut juga menyatakan kegagalan semua level dalam menyediakan perlindungan mendasar bagi pemain. Kesalahan ada pada tim, liga, serta US Soccer sebagai badan sepak bola nasional. Pada 2023, persatuan pemain sepak bola Australia mengumumkan rencana perlawanan atas pelecehan karena dugaan kegagalan sistemik perlindungan perempuan di olahraga.
FIFA bisa berbuat lebih banyak untuk mengatasi permasalahan ini. FIFA dapat meminta asosiasi untuk melindungi para pemain, sama seperti saat mereka menekan federasi untuk menyetarakan gaji antara pemain sepak bola laki-laki dan perempuan lewat satu kesepakatan.
FIFA dapat, misalnya, mewajibkan asosiasi untuk menerapkan kontrak yang sesuai dengan aturan perburuhan nasional dan internasional. Mereka juga bisa menyusun sistem saling kontrol atau checks and balances guna memastikan uang hadiah dari turnamen akbar dibagikan kepada pemain secara adil dan merata.
Piala Dunia Wanita 2023 berpotensi menjadi momen penting bagi sepak bola perempuan, bahkan, lebih luas lagi, kesetaraan gender. Ada banyak harapan bahwa turnamen ini dapat membantu sepak bola tumbuh lebih besar dan mendatangkan dukungan komersial bagi sepak bola perempuan. Seperti adagium "jika kamu bisa melihat dia, kamu bisa menjadi seperti dia", menempatkan bintang perempuan di posisi lebih terang dapat menarik perhatian lebih banyak anak-anak perempuan.
Suporter Inggris menonton pertandingan final Piala Dunia Wanita antara Spanyol melawan Inggris di layar lebar, di London, 20 Agustus 2023. REUTERS/Toby Melville
Namun jalan masih panjang. Meski FIFA telah mengambil langkah maju, semua penggemar sepak bola paham FIFA merupakan organisasi yang terkenal akan kronisme, korupsi, dan kepentingan pribadi. Sejarah panjang misogini dan ketidaktertarikan membuat FIFA tak menghargai para pemain sepak bola perempuan, pelatih, dan ofisialnya. Hal ini bisa jadi belum terhapus hingga Piala Dunia Wanita 2023. Wakil Presiden FIFA mengaku tak mempercayai perlunya kesetaraan bayaran antara pemain laki-laki dan perempuan. Dia juga mempertanyakan hal apa yang bisa menjadi batas maksimal sepak bola perempuan.
Kita perlu memberikan pujian pada saat yang tepat. Tapi kita juga perlu memeriksa narasi seputar kesuksesan Piala Dunia Wanita yang mengabaikan masalah yang telah lama mengakar di sepak bola perempuan.
Para pelopor perubahan adalah mereka yang selama ini berlaga di lapangan. Setelah beberapa dekade mendominasi sepak bola perempuan dan bertahun-tahun bertarung dalam persidangan, pada 2022, timnas wanita AS mencapai kesepakatan bayaran yang setara antara pemain laki-laki dan perempuan. Sejumlah negara lain, termasuk Australia, Selandia Baru, dan Irlandia, telah memiliki kesepakatan serupa.
Terobosan-terobosan seperti itu muncul bukan karena pengawasan ataupun kebaikan hati FIFA, melainkan kegigihan pemain selama bertahun-tahun, kampanye tak berujung, kemunculan di media, pengajuan penggajian, dan negosiasi tiada henti. Determinasi para atlet di lapanganlah yang mendorong lonjakan popularitas sepak bola perempuan di mata publik. Bukan kerja organisasi yang sekarang memetik keuntungan finansial
Tepat satu bulan sebelum timnas Afrika Selatan menyingkirkan Italia di Piala Dunia Wanita 2023 di Wellington, para pemainnya meluncurkan protes dan memboikot pertandingan persahabatan melawan Botswana. Mereka hanya duduk di tribun, menonton timnas dadakan, yang di antaranya bocah berusia 13 tahun, dihancurkan 0-5 oleh tim tamu.
Tiga pekan kemudian, kapten timnas Afrika Selatan mengatakan kepada media bahwa perselisihan telah diselesaikan dan para pemain mendapat jaminan upah. Pekan berikutnya, Magaia mengoper bola ke Kgatlana pada menit ke-92. Selanjutnya adalah sejarah.
---
Artikel ini ditulis oleh Adam Beissel dari Miami University dan Andrew Grainger dari Western Sydney University. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.