Paras Perempuan dan Wajah Tuhan

Mohd. Sabri AR
Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin

Saat misterium menjalar dalam senyap, selalu ada yang tekun menanti isyarat: Ibn 'Arabi. Ia yang terjaga di dua pertiga malam, merengkuh cahaya dan mewartakan visi transenden: jejak, lalu tanda, kemudian Tuhan yang tak terjaring makna, Hadir, menanam kode dalam kancah yang nihil: Dia Yang Maha Bukan. Dalam perjumpaan yang sekejap dengan aksara batin dari langit, corpus dei, percakapan tentang Tuhan barangkali memang hanya idea yang terlontar dari kesunyian mutlak, yang tak tunai dalam kalam.

Tapi, dari pojok abad ke-7 Hijriyah yang beku, gurun adalah rongga yang asing, menjelma sebilah kesaksian atas simpul kalam teosof genial Ibn 'Arabi: "Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri perempuan." Sebuah dentuman yang mengguncang, di tengah kuatnya arus otoritarianisme religius kaum laki-laki. Inilah titik silang diagonal dari doktrin Ibn 'Arabi tentang Tuhan: tanzih (theologia negativa) dan tasybih (theologia positiva). Pernyataan Ibn 'Arabi dalam Fushsh al-Hikm tersebut lebih merupakan aksara yang menghentak sembari meneguhkan satu hal: tajalli, sebuah doktrin 'irfani tentang citra dan "manifestasi" Tuhan. Ibn 'Arabi mendaku, wujud hanya dinisbatkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq, dimaknai sebagai tajalli atau manifestasi Al-Haqq.

Kamis, 30 Januari 2014

Mohd. Sabri AR
Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin

Saat misterium menjalar dalam senyap, selalu ada yang tekun menanti isyarat: Ibn 'Arabi. Ia yang terjaga di dua pertiga malam, merengkuh cahaya dan mewartakan visi transenden: jejak, lalu tanda, kemudian Tuhan yang tak terjaring makna, Hadir, menanam kode dalam kancah yang nihil: Dia Yang Maha Bukan. Dalam perjumpaan yang sekejap dengan aksara batin dari langit, corpus dei, percakapan t

...

Berita Lainnya