Kekerasan Atas Nama Agama

Aslan Abidin
DOSEN FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

"Ketika itu, orang lebih gampang dibunuh daripada ayam," begitu kakek-nenek saya sering bercerita mengenang kengerian semasa pemberontak Kahar Muzakkar. Kakek-nenek-juga ayah-ibu dan hampir semua keluarga sekerabat saya-memanglah korban kekacauan yang ditimbulkan Muzakkar selama 15 tahun di Sulawesi Selatan.

Kisah-kisah mereka adalah horor mengerikan pertama yang saya-dan kebanyakan anak seusia saya di Sulawesi Selatan-dengar dan kenali sejak kecil. Kengerian itu selalu terasa lengkap karena ditopang alasan fikrah agama. Sesuatu yang sungguh terasa janggal. Sebab, agama ternyata juga menjadi tempat mengenal kengerian.

Lalu kini, saya membayangkan diri suatu saat kelak, menahan gidik bercerita kepada anak-cucu saya tentang kekacauan oleh gerombolan Front Pembela Islam (FPI). "Kala itu, orang diserbu dan ditabrak mati, lebih enteng daripada merapal zikir." Tentu sembari menguatkan diri bahwa anak-cucu saya akan punya cara sendiri menyempurnakan kengeriannya yang berhaluan agama.

Rabu, 31 Juli 2013

Aslan Abidin
DOSEN FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

"Ketika itu, orang lebih gampang dibunuh daripada ayam," begitu kakek-nenek saya sering bercerita mengenang kengerian semasa pemberontak Kahar Muzakkar. Kakek-nenek-juga ayah-ibu dan hampir semua keluarga sekerabat saya-memanglah korban kekacauan yang ditimbulkan Muzakkar selama 15 tahun di Sulawesi Selatan.

Kisah-kisah mereka adalah horor mengerikan pertama yang saya-dan ke

...

Berita Lainnya