Agar Pertanian Perkotaan Lebih Ramah Iklim

Pertanian perkotaan tak selalu lebih baik untuk iklim daripada pertanian konvensional. Ada praktik baik untuk mengubahnya.

Tempo

Kamis, 25 Januari 2024

Pertanian perkotaan (urban farming) diharapkan menjadi fitur penting dari keberlanjutan abad ke-21 serta dapat memiliki banyak manfaat bagi masyarakat dan kota, termasuk menyediakan produk segar di lingkungan dengan pilihan lain.

Di antara manfaat tersebut, menanam bahan pangan di halaman belakang rumah, kebun komunitas, atau pertanian perkotaan dapat memperkecil jarak antara produsen dan konsumen yang harus ditempuh oleh buah serta sayuran—yang dikenal sebagai "food mile". Menghilangkan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi merupakan lompatan kecil untuk mengasumsikan pertanian perkotaan sebagai sebuah solusi iklim yang sederhana.

Namun apakah pertanian perkotaan benar-benar ramah iklim seperti yang dipikirkan banyak orang?

Tim peneliti kami bermitra dengan tukang kebun individu, relawan kebun komunitas, serta manajer pertanian perkotaan di 73 lokasi pada lima negara di Amerika Utara dan Eropa untuk menguji asumsi ini.

Kami menemukan bahwa pertanian perkotaan, meskipun memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, tidak selalu lebih baik untuk iklim daripada pertanian konvensional selama siklus hidup, bahkan dengan dimasukkannya faktor transportasi. Fakta yang kami pelajari, situs pertanian perkotaan, rata-rata enam kali lipat lebih intensif karbon per porsi buah atau sayuran ketimbang pertanian konvensional.

Namun kami juga menemukan beberapa praktik yang menonjol, yang secara efektif dapat membuat buah dan sayuran yang ditanam di kota lebih ramah iklim.

Mendaur ulang bahan bangunan dan air dapat membuat pertanian perkotaan lebih berkelanjutan. Lauren Moore/USDA

Apa yang membuat pertanian perkotaan lebih intensif karbon?

Sebagian besar penelitian tentang pertanian perkotaan berfokus pada satu jenis pertanian perkotaan, sering kali sebagai proyek teknologi tinggi, seperti tangki akuaponik, rumah kaca atap, atau pertanian vertikal. Sering kali konsumsi listrik dari bahan pangan yang ditanam di lingkungan berteknologi tinggi ini memiliki jejak karbon yang besar.

Sebaliknya, kami melihat emisi siklus hidup dari pertanian perkotaan berteknologi rendah yang lebih umum—seperti jenis yang ditemukan di halaman belakang rumah perkotaan, lahan kosong, dan pertanian perkotaan.

Studi kami, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Cities, 22 Januari 2024, memodelkan emisi karbon dari aktivitas pertanian, seperti menyiram dan menyuburkan tanaman, serta dari membangun dan memelihara pertanian. Hal yang mengejutkan, dari perspektif emisi siklus hidup, sumber emisi terbesar di situs-situs ini ternyata adalah infrastruktur. Dari bedengan hingga gudang dan jalan beton, infrastruktur berkebun ini berarti lebih banyak emisi karbon per porsi produk daripada rata-rata ladang terbuka di pertanian konvensional.

Namun, di antara 73 situs pertanian perkotaan, termasuk di New York, London, dan Paris, ada 17 situs memiliki emisi yang lebih rendah daripada emisi pada pertanian konvensional. Dengan mengeksplorasi apa yang membedakan situs-situs ini, kami mengidentifikasi beberapa praktik terbaik untuk mengecilkan jejak karbon dari produksi pangan perkotaan.

Peternakan Komunitas Taqwa di Bronx, New York, telah menyediakan ruang untuk menanam sayuran segar bagi masyarakat selama lebih dari tiga dekade. Preston Keres/USDA/FPAC

1) Manfaatkan bahan daur ulang, termasuk sisa makanan dan air

Menggunakan bahan bangunan bekas untuk membangun infrastruktur pertanian, seperti bedengan, dapat mengurangi dampak iklim dari kayu baru, semen, dan kaca. Kami menemukan bahwa bahan bangunan daur ulang dapat memotong emisi situs 50 persen atau lebih.

Rata-rata, situs kami menggunakan kompos untuk menggantikan 95 persen pupuk sintetis. Menggunakan sisa makanan sebagai kompos dapat menghindari emisi metana dari sisa makanan yang terkubur di tempat pembuangan sampah dan kebutuhan akan pupuk sintetis yang terbuat dari bahan bakar fosil. Kami menemukan bahwa pengelolaan kompos yang cermat dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga hampir 40 persen.

Menangkap air hujan atau menggunakan air buangan dari saluran air atau wastafel dapat mengurangi kebutuhan untuk memompa air, pengolahan air, dan distribusi air. Namun kami menemukan hanya sedikit situs menggunakan teknik tersebut untuk sebagian besar air mereka.

2) Menanam tanaman yang padat karbon ketika ditanam dengan metode konvensional

Tomat adalah contoh bagus dari tanaman yang dapat mengurangi emisi ketika ditanam dengan pertanian perkotaan berteknologi rendah. Secara komersial, tomat sering ditanam di rumah kaca skala besar yang dapat sangat intensif energi. Asparagus dan produk lainnya yang harus diangkut dengan pesawat terbang karena cepat rusak merupakan contoh lain produk pertanian dengan jejak karbon yang besar.

Dengan menanam tanaman ini, alih-alih membelinya di toko, petani perkotaan berteknologi rendah dapat mengurangi dampak karbon bersih mereka.

3) Jaga agar taman kota tetap berjalan dalam jangka panjang

Kota-kota terus berubah dan kebun komunitas dapat menjadi rentan terhadap tekanan pembangunan. Namun, jika dapat tetap di tempat selama bertahun-tahun, situs pertanian perkotaan bisa menghindari kebutuhan akan infrastruktur baru dan terus memberikan manfaat kepada masyarakat.

Situs pertanian perkotaan menyediakan layanan ekosistem dan manfaat sosial, seperti produk segar, pembangunan komunitas, serta pendidikan. Peternakan perkotaan juga menciptakan rumah bagi lebah dan satwa liar perkotaan sambil menawarkan beberapa perlindungan dari efek pemanasan pulau perkotaan (urban island heat).

Praktik menanam bahan pangan di kota-kota diperkirakan terus berkembang pada tahun-tahun mendatang serta banyak kota mencarinya sebagai alat utama untuk adaptasi iklim dan keadilan lingkungan.

Kami percaya bahwa dengan desain situs yang cermat dan kebijakan penggunaan lahan yang lebih baik, petani perkotaan serta tukang kebun dapat meningkatkan manfaat mereka, baik bagi orang-orang terdekat maupun planet secara keseluruhan.


Artikel ini ditulis oleh Jason Hawes, kandidat PhD dalam Kebijakan dan Perilaku Sumber Daya, University of Michigan, Amerika Serikat; Benjamin Goldstein, Asisten Profesor Sistem Berkelanjutan, University of Michigan, Amerika Serikat; dan Joshua Newell, Profesor Lingkungan dan Keberlanjutan, University of Michigan. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di The Conversation edisi global dan diterjemahkan oleh Dody Hidayat dari Tempo.

Berita Lainnya