Rekor Suhu Tertinggi di Bumi

Pemanasan global mencapai 2 derajat Celsius pada bulan ini. Untuk pertama kalinya, kenaikan suhu bumi melewati batas aman.

Tempo

Jumat, 24 November 2023

Pada September lalu, pemanasan suhu bumi melampaui 1,5 derajat Celsius. Dua bulan kemudian, pemanasan bumi naik lagi hingga sempat menyentuh 2 derajat Celsius. Wajar kita bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.

Apa yang kita lihat bukanlah perubahan iklim yang tidak terkendali. Ini adalah lonjakan suhu harian, bukan pola jangka panjang yang menjadi acuan untuk menyatakan suhu dunia saat ini lebih panas 2 derajat Celsius dibanding pada era pra-industri.

Namun kenaikan suhu pertama yang melewati batas aman bumi ini adalah alarm terkeras sepanjang sejarah. Kenaikan suhu terjadi seiring dengan peringatan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), yang menyatakan dunia masih berada di jalur menuju pemanasan 3 derajat Celsius yang "sangat buruk" pada akhir abad ini.

Ilustrasi suhu panas. Shutterstock

Kendati demikian, kenaikan suhu ini tidak menandai kegagalan kita. Lonjakan pemanasan tiba-tiba pada 2023 terjadi karena kombinasi beberapa faktor: perubahan iklim, El Nino kuat, kegagalan pembentukan kembali es laut setelah musim dingin, berkurangnya polusi aerosol, dan peningkatan aktivitas matahari. Ada juga faktor kecil, seperti dampak letusan gunung berapi di dekat Tonga.

Seberapa Signifikan Faktor-faktor Itu?

1. Perubahan iklim

Sejauh ini, perubahan iklim adalah faktor terbesar. Banyak dari kita yang tidak menyadari betapa barunya periode emisi intens yang kita alami. Jika kamu lahir pada 1983, 50 persen dari seluruh emisi umat manusia telah dibuang ke atmosfer sejak kelahiranmu. Emisi manusia dan aktivitas lain sejauh ini berkontribusi memanaskan suhu bumi sebesar 1,2 derajat Celsius.

Gas rumah kaca memerangkap panas, dan itulah sebabnya bumi tidak terselimuti salju. Namun 2 triliun ton energi fosil yang kita ambil dari bawah tanah dan dikembalikan ke atmosfer memerangkap lebih dan lebih banyak panas. Bumi bakal terus memanas hingga kita berhenti menggunakan bahan bakar fosil untuk menghasilkan panas atau listrik.

2. El Nino

Siklus iklim El Nino di kawasan Pasifik memiliki pengaruh alami terbesar terhadap iklim. Sebab, kawasan Pasifik sangat luas, mencakup 30 persen permukaan bumi.

Saat mengalami fase El Nino, lautan di lepas pantai Amerika Selatan memanas. Hal ini, pada gilirannya, biasanya membuat suhu rata-rata global menjadi lebih panas.

Saat ini ada gelombang panas yang berbahaya di Brasil. Saat terkombinasi dengan kelembapan, gelombang panas membuat suhu di sana terasa seperti 60 derajat Celsius. Kondisi tersebut berkontribusi pada kematian seorang penggemar dalam konser Taylor Swift di Rio de Janeiro, minggu lalu.

El Nino ada kemungkinan memuncak dalam dua bulan ke depan. Namun dampaknya mungkin terus berlanjut sepanjang 2024 sehingga menyebabkan suhu rata-rata global lebih tinggi sekitar 0,15 derajat Celsius.

3. Es laut Antartika gagal pulih

Penurunan volume dan luas es laut Arktik sudah diketahui secara luas. Namun kini es laut Antartika juga gagal pulih. Biasanya, lingkaran air laut beku di sekitar benua es mencapai batas maksimumnya pada September. Namun luas lingkaran maksimum tahun ini jauh di bawah tahun sebelumnya.

Saat memasuki musim panas, akan ada lebih banyak air yang berwarna gelap. Permukaan yang gelap akan menyerap lebih banyak panas, sedangkan permukaan yang putih memantulkannya. Ini menandakan lebih banyak panas yang akan masuk ke lautan dibanding yang kembali ke angkasa.

4. Peningkatan aktivitas matahari

Matahari beroperasi dalam siklus sekitar 11 tahun, dengan keluaran yang lebih rendah dan lebih tinggi. Suhu maksimum matahari diperkirakan terjadi pada 2025 dan peningkatan nyata terjadi tahun ini. Fenomena tersebut menciptakan aurora yang spektakuler—bahkan di belahan bumi selatan, tempat penduduknya telah melihat aurora sampai ke daratan Ballarat, Victoria, Australia.

Aktivitas maksimum matahari menambahkan panas ekstra. Namun efeknya tidak banyak—hanya sekitar 0,05 derajat Celsius atau setara dengan sepertiga dari El Nino.

5. Letusan gunung berapi

Letusan gunung berapi biasanya mendinginkan planet ini karena gumpalan besar aerosol dari muntahan gunung menghalangi sinar matahari.

Namun letusan gunung berapi terbesar abad ini, di dekat Tonga, Polinesia, pada Januari 2022, justru berdampak sebaliknya. Sebab, gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha’apai berada di bawah laut. Kekuatan ledakannya menguapkan sejumlah besar air laut. Adapun uap air merupakan gas rumah kaca.

Beberapa orang skeptis bahwa letusan di Tonga menjadi penyebab utama lonjakan pemanasan global baru-baru ini, menganggapnya hanya kedipan semata. Namun letusan ini akan menambah suhu yang diperkirakan 0,035 derajat Celsius selama sekitar lima tahun.

6. Berkurangnya polusi aerosol

Pada 2020, peraturan internasional baru mewajibkan bahan bakar pelayaran yang rendah sulfur. Pelaksanaan regulasi ini mengurangi emisi sulfur dioksida sekitar 10 persen.

Rendahnya emisi sulfur dioksida memang bagus untuk kesehatan. Namun aerosol di atmosfer sebenarnya dapat menghalangi panas.

Pengurangan polusi mungkin telah menambah pemanasan bumi. Namun, sekali lagi, dampaknya tampaknya kecil atau menambahkan perkiraan pemanasan 0,05 derajat Celsius pada 2050.

Petugas Pemadam Kebakaran Pemprov DKI Jakarta melakukan penyemprotan air untuk mengatasi cuaca panas di sepanjang Jalan Medan Merdeka hingga kawasan Patung Pemuda Membangun, Jakarta, 23 Agustus 2023. TEMPO/Subekti.

Apa Hikmah dari Pemanasan Ini?

Iklim sangat kompleks. Kita patut melihat kenaikan suhu 2 derajat Celsius ini sebagai peringatan keras, bukan tanda untuk menyerah.

Singkatnya, ini bukanlah perubahan tiba-tiba. Kombinasi beberapa faktorlah yang mendorong lonjakan ini. Salah satunya adalah El Nino, yang merupakan siklus alami sehingga keadaan dapat berubah kembali.

Namun, ketika para delegasi bersiap untuk perundingan iklim COP28 pekan depan, ini merupakan tanda lain bahwa kita tidak bisa menyerah.

Kita—akhirnya—melihat tanda-tanda kemajuan nyata dalam penerapan energi terbarukan dan transportasi ramah lingkungan. Tahun ini kita bahkan mungkin melihat emisi dari pembangkit listrik akhirnya mencapai puncaknya, kemudian mulai jatuh.

Kita belum gagal. Namun kita berada di planet yang memanas dengan cepat. Kini kita dapat melihat dampaknya dengan jelas, bahkan dalam catatan suhu harian terbaru ini.

---

Artikel ini ditulis oleh Andrew King, dosen senior klimatologi di The University of Melbourne. Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya