Merantau Kisah
Jenius Kita Di Negeri Orang

Indonesia punya sumber daya manusia yang lebih dari cukup untuk menjadi bangsa terpandang: orang-orang dengan otak kwaliteit prima, talenta kelas satu, dan imaji mereka untuk menjadi Indonesia. Cuma satu yang belum kita punya: pemerintah yang peduli. Akibatnya, dari sekitar 7,5 juta orang berbakat hebat di Indonesia, 99 persennya menjadi orang biasa. Yang berhasil moncer di panggung dunia tak sampai seribuan- separuhnya mengasahnya di negeri sabrang. Ini berbeda dengan Cina dan India.

India tak putus-putusnya mencetak ilmuwan hingga ahli keuangan agar bisa mendapat pekerjaan penting di Amerika dan Eropa. Kini mereka nyaris- bila tak bisa disebut telah-memindahkan Silicon Valley, jantung industri digital Amerika, ke Bangalore. Lihatlah pula Cina. Mereka terus mengirim bersorti-sorti pelajar berbakat, tiap sortinya berjumlah ratusan ribu, untuk belajar di pusat riset dan pendidikan dunia. Target mereka: pada 2010 menghasilkan PhD lebih banyak dari yang dihasilkan Amerika.

Sesungguhnya, ketidakpedulian kita terhadap mereka yang berbakat khusus merupakan pertanda muram tentang masa depan kita. Pada edisi khusus kali ini, Koran Tempo menurunkan tulisan tentang orang-orang Indonesia yang tanpa campur tangan negara berhasil moncer di negeri sabrang.

Selasa, 18 Agustus 2009

Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di Universitas Lehigh, Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja sehari-hari, Agustus 2 tahun lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya shocked: mama tercintanya, Auw Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu, direktur percetakan PT Mutiara Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh perampok di area perkebunan karet PTPN II Tanjung Morawa.

Peristiwa itu sempat membuatnya "tak percaya" t

...

Berita Lainnya