Membuka Kembali Museum Nasional, Membayangkan Ulang Permuseuman Nasional

Reimajinasi sebagai pijakan perbaikan tata kelola permuseuman nasional. Museum Nasional akan dibuka kembali pada 15 Oktober.

Iklan

Minggu, 29 September 2024

Setelah ditutup selama satu tahun penuh, akhirnya Museum Nasional akan segera membuka pintunya kembali untuk dikunjungi oleh masyarakat umum. Masih basah dalam ingatan kita kebakaran yang melanda Museum Nasional pada September tahun lalu. Peristiwa itu terjadi di tengah gencarnya pemberitaan tentang keberhasilan pemerintah memulangkan benda-benda cagar budaya Indonesia yang ada di luar negeri atau repatriasi. 

Tak ayal peristiwa tersebut memancing kembali pertanyaan (baca: pesimisme) publik terkait kesiapan museum Indonesia dalam merawat benda-benda yang kembali ke tanah air. Tak sedikit bahkan yang beranggapan bahwa lebih baik artefak-artefak yang dipulangkan itu tetap berada di luar daripada tidak terawat di pangkuan ibunya. 

Anggapan-anggapan bernada skeptis dan pesimis terhadap tata kelola dan performa museum di Indonesia sudah melekat di kepala sebagian besar dari kita sejak lama, dan hal tersebut bukannya tanpa alasan. Hampir setiap kali berkunjung ke museum, kita pulang dengan rasa kecewa karena berbagai sebab yang tidak dapat disanggah kenyataannya. Mulai dari kebersihan yang tidak terjaga, koleksi yang tidak lengkap dan tidak terawat, pencantuman informasi yang kurang tepat, sampai pelayanan pengunjung yang tidak memuaskan.

Dengan semua kondisi yang ada, tidak mengherankan jika museum sudah lama kehilangan nilai tawarnya di hadapan ruang-ruang publik lain yang terus menjamur, seperti kedai kopi, pusat perbelanjaan, atau taman wisata. Sementara itu, pemerintah selama ini pun terkesan sangat lambat dalam mengatasi permasalahan menahun terkait tata kelola permuseuman. Kebakaran yang melanda Museum Nasional pun seakan menjadi tamparan telak yang menyadarkan seluruh pihak bahwa tata kelola permuseuman harus segera dibenahi. 

Indonesian Heritage Agency (IHA)

Pemerintah akhirnya melakukan inisiatif dengan meluncurkan Indonesian Heritage Agency (IHA) pada Mei 2024. IHA adalah istilah lain yang digunakan untuk merujuk Badan Layanan Usaha Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB), sebuah badan bentukan Ditjen Kebudayaan yang menaungi museum dan situs cagar budaya milik pemerintah di seluruh Indonesia. Upaya mengonsolidasikan museum dan cagar budaya sudah dilakukan sejak 2022, ditambah dengan studi banding ke beberapa negara dengan manajemen museum yang sudah diakui dunia seperti Prancis dan Amerika Serikat. 

Pada malam peluncuran IHA yang berlangsung di Museum Benteng Vredeburg, diperkenalkan gagasan ‘Reimajinasi’ sebagai pijakan perbaikan tata kelola permuseuman nasional. Ada tiga hal yang akan dibayangkan kembali dengan adanya IHA, yaitu reprogramming yang berfokus pada pembaruan kuratorial dan koleksi, redesigning yang menyasar pada peningkatan infrastruktur renovasi bangunan dan ruang, dan reinvigorating yang berfokus pada penguatan kelembagaan melalui peningkatan profesionalisme dan kompetensi. 

Sempat ditegaskan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid pada taklimat media peluncuran IHA (16/5) bahwa IHA “bukan hanya tentang pengelolaan museum dan cagar budaya, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, memanfaatkan dan merawat kekayaan budaya yang kita miliki.” 

Membayangkan Ulang Permuseuman Nasional

Gagasan yang ditawarkan oleh pemerintah melalui IHA tampak meyakinkan dalam menjawab semua kegelisahan yang selama ini kita rasakan setiap kali berkunjung ke museum atau memikirkan nasib permuseuman Indonesia. Pembuktian dari gagasan reimajinasi itu ditunjukkan dengan revitalisasi Museum Nasional yang akan dibuka kembali pada 15 Oktober tahun ini. 

Dari aspek kuratorial, remajinasi Museum Nasional mengarah pada upaya melepaskan diri dari narasi kolonialisme. Koleksi-koleksi yang dihadirkan kini menekankan pada kembalinya warisan budaya dan pengetahuan Nusantara. Sementara pada aspek infrastruktur, telah dilakukan renovasi untuk bangunan yang terdampak kebakaran dan renovasi tata pamer serta narasi pada ruang-ruang lainnya, ditambah hadirnya ruangan imersif dengan pemanfaatan teknologi digital. Pembaruan tersebut pada gilirannya menunjukkan peningkatan kompetensi sumber daya manajemen museum yang juga menjadi fokus dari IHA. 

Praktik-praktik serupa akan diterapkan di 18 museum (termasuk 1 galeri) dan 34 cagar budaya yang dikelola oleh IHA sebagai bentuk pembayangan ulang permuseuman nasional. Pekerjaan rumah berikutnya adalah memastikan semua upaya reimajinasi ini tidak hanya menjadi inisiatif yang dilakukan pemerintah. Seperti yang disampaikan Hilmar Farid, pemanfaatan dan perawatan kekayaan budaya perlu dilakukan bersama sebagai sebuah bangsa. 

Di sinilah edukasi kepada publik juga perlu dilakukan, agar pembayangan kembali permuseuman nasional tidak hanya menjadi bayang-bayang tanpa wujud. 

*Penulis: Dhianita Kusuma Pertiwi – Penulis dan Leriset Lepas, alumnus Magister Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 

Berita Lainnya