Ekosistem Kebudayaan Melalui Tata Kelola Seni Budaya
Platform Indonesiana wadah dan mekanisme kebijakan serta pengelolaan terpadu melalui kegiatan festival budaya
Iklan
Minggu, 4 Agustus 2024
Persoalan Kebudayaan memang menjadi issue yang dianggap penting oleh para funding futher sejak sebelum merdeka. Kebudayaan telah menjadi pembahasan sejak Kongres Kebudayaan tahun 1918 di Kota Solo, menjadi perdebatan antara Sutan Takdir Ali Syahbana, Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1933 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Polemik Kebudayaan. Pada 13 Juli 1945 kebudayaan nasional ditetapkan sebagai salah satu pasal dalam UUD 1945. Dan perjalanan panjang pada akhirnya membuahkan hasil, pada 27 April 2017 lahir dan disahkannya Undang Undang Pemajuan kebudayaan. Pemajuan Kebudayaan adalah satu upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Nasional secara menyeluruh dan terpadu.
Pemajuan Kebudayaan adalah proses yang melandasi segenap lini kehidupan masyarakat. Memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, serta berbagai ekosistem lain yang mempengaruhi dan dipengaruhinya. Berdasar atas amanat tersebut makanya negara wajib hadir dan berperan aktif dalam menjalankan agenda Pemajuan Kebudayaan. Dampak dari lahirnya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017 adalah negara merancang satu program kebijakan bernama Platform Indonesiana. Satu kerangka kerja bersama sebagai wadah dan mekanisme kebijakan serta pengelolaan terpadu melalui kegiatan festival budaya di berbagai daerah. Secara kongkrit negara hadir mengurus kerja-kerja kebudayaan di daerah melalui tata kelola festival dengan capaian yang konkrit yaitu peningkatan kapasitas ekosistem kebudayaan. Dengan menghadirkan berbagai program; workshop, coaching, dan pendampingan festival dengan sistem perancangan, pendanaan dan pelaksanaan bersama.
Fokus utamanya adalah bagaimana meningkatkan kualitas manajemen festival dengan memberikan pendampingan pelaksanaan festival dengan melakukan survei dan pemetaan bersama komunitas, merancang dan mengkonsep bersama dan memberikan workhop dengan membekali tentang kuratorial dan produksi festival, perluasan akses dan jejaring budaya, pengelolaan pengetahuan, pengembangan dan perluasan kerja sama. Mendorong adanya interaksi antar unsur pemangku kepentingan yang tentunya saling menunjang dalam hal pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan di daerah. Terlibatnya dan bergeraknya seluruh pemangku kepentingan dalam produksi, kreasi, apresiasi, distribusi, konsumsi dan pendidikan dalam kaitannya dengan kegiatan budaya lokal serta pengembangan pengetahuannya. Peran pemerintah dalam meningkatkan kapasitas tata kelola seni-budaya salah satunya melalui Platform Indonesiana.
Platform Indonesiana yang berjalan sejak 2018 hingga 2023 telah dilaksanakan kurang lebih sebanyak 106 kota/daerah, peningkatan Kapasitas SDM Festival melalui workshop dan pendampingan sampai pada pelaksanaan festival, dan workshop telah diikuti lebih dari 5000 SDM festival. Sekalipun tidak banyak, program ini di beberapa daerah meninggalkan jejak SDM festival misalnya; Kabupaten Majene di Sulawesi Barat memiliki Festival Sipamandar yang mendapatkan pendampingan Platform Indonesiana, meningkatnya kapasitas SDM festival di Kabupaten Majene serta hidupnya eksosistem kebudayaan, kemudian melahirkan Sandeq Festival dan tahun 2023 lahir festival yang lebih besar yakni Selebes Festival. Kabupaten Ngada dengan Festival Inerie - Festival Budaya Ngada selain kemudian berdampak mengumpulkan para petani kopi dan menghadirkan para penanam modal, festival di Kabupaten Ngada mampu merangkul semua suku yang ada mengangkat kekayaan budaya Kabupaten Ngada, saat sekarang Pemajuan Kebudayaan di Kabupaten Ngada sangatlah hidup.
Festival Sindoro Sumbing di Kabupaten Temanggung selain menumbuhkan ekosistem kebudayaan di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing, festival budaya dengan tema lestari tersebut mampu memberhentikan penggalian liar dan festival menjadi satu gerakan menyelamatkan alam dan lingkungan. Kabupaten Blora dengan festival Cerita dari Blora mengangkat tradisi lisan, kearifan lokal dan mewujudkan peristiwa Temu Ageng, moment sejarah berkumpulnya murid dan para pengikut Samin Surontiko yang ada di beberapa kota sekitar Blora untuk nyocokke laku, tentang tata cara dan ajaran hidup yang selama ini mereka jalani.
Platform Indonesiana pada tahun 2018 juga mempunyai pilot project bersama kota Solo dan enam kabupaten sekitar dengan menggelar International Gamelan Festival, mengundang para diaspora gamelan untuk mudik, pulang kampung atau Home Coming dan sungkem di kota situsnya gamelan. Dan berhasil mengundang 19 negara, mementaskan 127 kelompok gamelan, terbukti mampu membuktikan adanya kerja gotong royong kebudayaan, didukung oleh Kemendikbud, Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB), Jawa Tengah, Balai Pelestari Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, Balai Konservasi Borobudur, Museum Sangiran, Museum Nasional, Taman Budaya Jawa Tengah, Institut Seni Indonesia Surakarta, SMKN 8 Surakarta, Wayang Sriwedari, sejumlah sekolah dan sanggar di Solo, melibatkan Kabupaten Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar dan Blora dan berbagai kantong seni pertunjukan di kota Solo.
Tentunya butuh kerja keras dan tidak mudah mengkonsolidasikan. Dan jejak SDM Festival di beberapa daerah sudah mulai menjadi narasumber – pemberi workshop di daerah lainnya. Dan Platform Indonesiana telah menciptakan dampak diluar persoalan artistik yakni tumbuhnya ekosistem kebudayaan di daerah-daerah.
Platform ini satu pola kerja bersama yang menuntut semua pihak harus bekerja keras dan bergandengan tangan dengan seluruh pemangku kepentingan kebudayaan dalam satu wadah kerja bersama. Kerja gotong royong kebudayaan melalui Platform Indonesiana sangat mungkin dilanjutkan dan menjadi program yang bisa menjadi standart bagaimana strategi Tata Kelola Seni diupayakan oleh negara hingga di wilayah paling rendah yaitu ekosistem di daerah. Kendala yang umum adalah tidak adanya komunikasi, kordinasi dan konsolidasi yang baik dan berkelanjutan. Dan perlunya menyamakan persepsi bagaimana kebudayaan yang tumbuh secara organik pada ekosistemnya bertemu dengan negara yang memiliki aturan, prosedur, regulasi, dan persyaratan-persyaratan lainnya.
Ekosistem kebudayaan umumnya dimengerti sebagai interaksi yang saling menunjang antara pelaku (kebudayaan), pengguna (pengambil manfaat), lingkungan (tempat kebudayaan), dan unsur-unsur kebudayaan dalam suatu kawasan tertentu. Untuk itu dibutuhkan strategi pengembangan Tata Kelola Seni di masa depan yang terus menerus harus diupayakan bersama, bekerja gotong royong, berkolaborasi dan berkelanjutan.
*Penulis: Fafa Utami - Ketua Prodi Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Surakarta