Pemajuan Kebudayaan dan Penggalian Biokultural

Perlu ada perubahan perspektif dalam memandang kebudayaan jika ingin mengatasi krisis keanekaragaman hayati

Iklan

Senin, 8 Juli 2024

Salah satu ancaman besar dalam kehidupan saat ini adalah “homogenisasi”. Banyak orang tidak sadar bahwa kehidupan modern saat ini mengarah pada homogenisasi dalam berbagai aspek kehidupan kita, antara lain pangan dan bentang alam. Saat ini dominasi pangan di dunia dikuasai oleh tiga tanaman yaitu padi, gandum dan jagung, padahal masih ada sumber pangan lain yang sangat potensial seperti sorghum, sagu, serta berbagai umbi-umbian. Demikian juga dengan bentang alam, di berbagai belahan dunia, keanekaragaman tumbuhan yang muncul dalam bentuk hutan telah tergantikan oleh tanaman kedelai, bunga matahari, kelapa sawit, akasia, eucalyptus, bahkan padang rumput penggembalaan sapi. Semua ini terjadi sebagai konsekuensi dari kehidupan yang mengutamakan economic profit yang cepat dan mengancam keanekaragaman hayati lokal. 

Dalam catatan bertajuk Protecting indigenous cultures is crucial for saving the world’s biodiversity (2020), Krystyna Swiderska peneliti International Institute for Environment and Development (IIED) menyebutkan, bahwa proses pelindungan kebudayaan jarang disebutkan dalam strategi mengatasi krisis hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal hilangnya keanekaragaman hayati tidak akan dapat diatasi dengan efektif tanpa proses pelindungan dan penyelamatan kebudayaan.

Swiderska menggambarkan bagaimana selama ribuan tahun masyarakat adat telah melakukan pelestarian keanekaragaman hayati. Banyak keanekaragaman hayati pertanian dunia tercipta dari pengetahuan tradisional, mulai dari varietas tanaman, jenis ternak, sampai bentang alam unik.  Praktik masyarakat adat ini terus berlangsung sampai saat ini sehingga membuat kekayaan dan keanekaragaman alam di tanah mereka mengalami penurunan lebih lambat dibanding wilayah lain. Masyarakat adat dunia, dengan jumlah perkiraan sekitar 370 juta hingga 500 juta, telah memainkan peran penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati melalui berbagai pengetahuan dan teknologi tradisional mereka.

Menurut Swiderska, saat ini budaya dan praktik masyarakat adat di seluruh dunia sedang dalam pengikisan modernisasi, mengalami tekanan pembangunan yang bertumpu pada industrialisasi serta komersialisasi, minimnya jaminan hak atas tanah dan sumber daya, serta minimnya pendidikan budaya. Persoalan ini membuat usaha untuk menyelamatkan budaya, sistem pengetahuan, dan identitas mereka menjadi terkendala. Padahal, mereka adalah salah satu kunci pemecahan masalah lingkungan.

Melalui catatannya Swiderska mengungkapkan perlu ada perubahan perspektif dalam memandang kebudayaan jika kita ingin mengatasi krisis keanekaragaman hayati. Hal ini yang membuat IIED dan mitra mereka mengembangkan konsep warisan biokultural, untuk mengatasi krisis kepunahan ganda, baik kepunahan keanekaragaman hayati dan kepunahan kebudayaan. Serangkaian penelitian pernah dilakukan lembaga tersebut pada kelompok masyarakat adat di Peru, Panama, Kenya, India dan Tiongkok dan telah mengungkapkan betapa pengetahuan lokal, keanekaragaman hayati, bentangan alam, nilai-nilai budaya, ritus dan hukum adat mempunyai keterkaitan dan saling bergantung.

Pelindungan Pengetahuan Lokal

Riset yang dilakukan IIED dalam pengembangan warisan biokultural di beberapa daerah di belahan dunia menunjukkan bahwa Indonesia dengan keragaman suku-bangsa, keunikan bentangan alam, dan kekayaan pengetahuan tradisional sangat berpotensi mengembangkan konsep biokultural. Saat ini konsep biokultural telah jauh berkembang, tidak sekadar mengenai pengetahuan tradisional belaka, tapi meliputi keragaman keseluruhan kebudayaan dan lingkungan alam di dunia. 

Komponen biologis, budaya, dan lanskap (bentang alam) dalam pemahaman keanekaragaman biokultural (biocultural diversity) dipandang saling terhubung dan memiliki nilai kepentingan yang sama. Dalam konsep ini, evolusi dari waktu ke waktu dipandang telah menghasilkan berbagai pengetahuan dan praktik ekologi lokal yang merupakan sumber pengalaman, pemahaman, dan keterampilan yang dapat membantu masyarakat untuk mengelola sumber daya mereka hari ini dan di masa mendatang. Perspektif biokultural memungkin kita untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dengan memberikan perhatian lebih pada pelindungan alam dengan keanekaragaman hayatinya dan menghubungkannya pelindungan kebudayaan.

Proses pengembangan biokultural memerlukan kerja-kerja transdisipliner. Tidak heran apabila melalui konsep ini, kita menemukan, semisal kelompok masyarakat adat berkolaborasi dengan perancang fesyen untuk meneliti produk fesyen yang eco-friendly. Atau para ahli kimia meneliti kembali pengetahuan tradisional untuk menciptakan obat, cat, pestisida dari bahan-bahan green chemistry. Serta banyak lagi praktik kerja dalam konsep biokultural yang telah menghasilkan cara pandang baru terhadap konservasi dan pembangunan berkelanjutan dalam segala bidang. 

Praktik kerja dan tindakan terkait biokultural, sebagaimana ditulis J. Davidson-Hunt, dkk. dalam artikel Biocultural Design: A New Conceptual Framework for Sustainable Development in Rural Indigenous and Local Communities (2012), juga telah memberikan berbagai kontribusi yang signifikan dalam menciptakan wacana alternatif bagi pembangunan masyarakat adat dan lokal pedesaan yang telah mempengaruhi kebijakan dan praktik organisasi nasional dan internasional. Secara khusus, hal ini mengubah kebijakan dan praktik konservasi “western-based” dengan memberikan bukti yang dapat dipercaya mengenai pentingnya pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. 

Pewarisan Biokultural di Indonesia

Indonesia melalui beberapa kerja kebudayan tampak juga tengah memberikan perhatian pada kerja-kerja pewarisan biokultural termasuk melalui kebijakan pemerintah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) terdapat 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) sebagian telah menampung bagian objek yang dapat digarap melalui cara pandang biokultural, mulai dari adat istiadat, bahasa, pengetahuan tradisional, ritus, sendi, dan lain-lain.

UUPK berusaha mendorong kesadaran bahwa kebudayaan merupakan proses untuk melandasi segenap kehidupan masyarakat, termasuk kesadaran ketika proses pemajuan kebudayaan dilaksanakan maka akan turut memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, serta berbagai ekosistem lain yang dipengaruhi dan mempengaruhinya. Kesadaran ini yang memungkinkan pengetahuan tentang biokultural dapat dilaksanakan.

Pengembangan biokultural, meskipun tidak identik disebutkan juga tergambar dalam beberapa program prioritas Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek. Seperti ditulis Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, dalam catatannya Paradigma Baru Kebijakan Kebudayaan (2022), bahwa pada Konferensi Mondiacult 2022 di Meksiko dunia tersadarkan, sudah sepatutnya kebudayaan dilihat sebagai barang publik (public goods). Menurut Hilmar, kebudayaan mesti menjadi ujung tombak dalam proses pembangunan berkelanjutan, karena dapat meningkatkan daya lenting masyarakat, memperkuat inklusi dan kohesi sosial, turut melindungi lingkungan hidup, dan memperkuat pembangunan yang berpusat pada manusia dan berakar pada konteks yang spesifik.

Cara pandang baru ini memungkinkan pewarisan biokultural dalam proses pemajuan kebudayaan di Indonesia dapat diperkuat. Meskipun praktik-praktik ini telah dilaksanakan dalam program prioritas/strategis Direktorat Jenderal Kebudayaan, akan tetapi kesadaran biokultural harus terus ditumbuhkan sebagai basis kerja kebudayan. Karena, sekali lagi, Indonesia mempunyai berbagai kekayaan dalam konteks biokultural.

Beberapa program, seperti Pemajuan Kebudayaan Desa (Daya Desa), dapat membuat masyarakatnya bergerak dan berkembang sesuai dengan imaji mereka tentang masa depan desanya dengan menggali dan memanfaatkan pengetahuan dan sumber lokal yang ada. Program Jalur Rempah, yang mencakup berbagai lintasan jalur budaya yang melahirkan peradaban global, dapat menjadi sumber pengetahuan tak terhingga untuk pembangunan berkelanjutan jika terus diarahkan untuk menggali konteks biokultural di sepanjang jalur tersebut. Termasuk Dana Indonesia sebagai fasilitasi pemajuan kebudayaan, akan menjadi ruang untuk menggali jauh ke dalam mengenai pengetahuan masyarakat Indonesia, yang sejak zaman lampau telah melestarikan alam dengan pengetahuan dan teknologi tradisional mereka.*

*Penulis: Damayanti Buchori (Guru Besar Ekologi-Evolusi dan Entomologi, Direktur Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin di Institut Pertanian Bogor)

Berita Lainnya