Ekosistem Film Pendek di Indonesia: Praktik dan Strategi Pengembangan

Jejak yang telah dibangun oleh film-film pendek Indonesia di forum internasional cukup menjanjikan. 

Iklan

Selasa, 11 Juni 2024

Lebih dari satu dekade belakangan ini film pendek Indonesia telah memperoleh tempat di forum-forum internasional. Keberadaan komunitas film yang kuat dan konsisten, seperti Halaman Belakang (Palu) dan Cinema Lovers Community (CLC, Purbalingga), serta komunitas-komunitas lainnya di seluruh Indonesia, ditunjang peran organisasi seperti Boemboe (Jakarta) sebagai kurator dan Minikino (Denpasar) telah memberikan dukungan yang signifikan bagi para pembuat film.

Dukungan ini datang melalui program pemutaran film, pelatihan, maupun mentoring, membantu pembuat film mengembangkan keterampilan dan memperluas jaringan. Teknologi yang memudahkan serta akses terhadap pengetahuan juga menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan. Penggiat film di jalur distribusi juga mulai bermunculan, membuat film-film tidak hanya beredar di lingkup nasional tetapi juga di jejaring dengan skala yang lebih luas, yang terlihat membuahkan hasil.

 

Prestasi Film Pendek Indonesia di Forum Internasional

Jejak yang telah dibangun oleh film-film pendek Indonesia di forum internasional cukup menjanjikan. Dengan terus meningkatkan kualitas produksi, akses terhadap pendanaan dan distribusi, serta memperluas jejaring kerja baik di dalam maupun luar negeri, industri film pendek Indonesia memiliki potensi besar untuk terus berkembang.

Salah satu contoh keberhasilan film pendek Indonesia di forum internasional adalah film "Prenjak" (Wregas Banuteja) yang memenangkan Leica Cine Discovery Prize for Short Film di Cannes Film Festival 2016. Sebelumnya ada "Sepatu Baru” (2014, sutradara Aditya Ahmad) yang mendapat Special Mention di Berlin International Film Festival 2015 dan “Kado” (2018, Aditya Ahmad) yang memenangkan Orizzonti Award sebagai Best Short Film di Venice International Film Festival 2018. "Saya Di Sini, Kau Di Sana" (2021, Taufiqurrahman Kifu) memperoleh Special Mention Jury di Oberhausen. "Evacuation of Mama Emola" (2022, Anggun Priambodo) memperoleh penghargaan Jury Prize di Sundance Film Festival, dan masih banyak yang lain.

 

Beberapa Catatan

Sementara di dalam negeri, munculnya festival-festival film seperti Jakarta Film Week juga telah menjadi platform penting bagi para pembuat film Indonesia untuk memamerkan karya-karya mereka kepada publik yang lebih luas. Festival-festival ini tidak hanya memberikan kesempatan bagi pembuat film untuk memperluas jaringan, tetapi juga menjadi ajang untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan sesama pembuat dan penggiat film.

Mengutip kalender festival di Indonesia yang disusun oleh Sri Ratna Setiawati, atau lebih dikenal sebagai Lulu Ratna, jumlah festival di Indonesia ada 70 (data 2019), meskipun diperkirakan menurun di masa pandemi. Sebagian besar festival tersebut mengakomodir film pendek, bahkan banyak yang memang khusus film pendek. Festival-festival ini tidak hanya memberikan platform bagi pembuat film untuk memamerkan karya mereka, tetapi juga menjadi ajang untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan. Menjaga daya hidup dan keselarasan festival juga merupakan tantangan tersendiri.

Tantangan lainnya adalah pemerataan pengetahuan dalam aspek produksi dan distribusi. Saat ini, kebanyakan pembuat film yang mampu berkiprah di forum-forum internasional berasal dari kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya dan informasi, menciptakan ketimpangan yang cukup signifikan.

Selain itu, pemerataan akses terhadap sumber-sumber pendanaan juga menjadi masalah tersendiri. Sumber dana dari pemerintah, seperti Dana Indonesiana, membutuhkan keterampilan dalam menuangkan gagasan ke dalam bentuk proposal atau pitch deck. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas para penggiat dan pembuat film melalui literasi dan workshop yang terukur.

Program-program yang dapat mempertemukan antara pembuat film dan investor seperti Akatara, yang digagas oleh Agung Sentausa dan didukung oleh Bekraf, perlu untuk dilanjutkan. Program semacam ini sangat membuka peluang bagi para pembuat film terhadap akses pendanaan dari pihak swasta.

Untuk mengatasi ketimpangan pengetahuan dalam hal produksi, bisa saja mengundang sutradara-sutradara ternama atau blockbuster untuk memberikan master class. Tentu hal ini bisa memberikan motivasi dan semangat kepada para pembuat film. Namun, yang lebih dibutuhkan adalah workshop-workshop yang lebih terukur dan praktis.

Workshop yang terukur dapat memberikan keterampilan teknis yang diperlukan, memungkinkan para pembuat film untuk belajar dan mengasah kemampuan mereka melalui praktik langsung. Misalnya, workshop tentang penulisan skenario, teknik penyutradaraan, pengelolaan produksi, hingga editing film. Dengan pendekatan yang lebih praktis dan aplikatif, para peserta dapat langsung mempraktekkan ilmu yang mereka dapatkan, sehingga lebih siap untuk menghadapi tantangan dalam produksi film sebenarnya.

Film pendek Indonesia memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan meraih pengakuan di tingkat internasional. Dengan ekosistem yang mendukung, akses yang lebih merata terhadap pengetahuan dan sumber daya, serta sinergi antara komunitas, pemerintah, dan sektor swasta, kita dapat menciptakan landasan yang kokoh bagi para pembuat film. Dengan upaya bersama dan berkelanjutan, industri film pendek Indonesia dapat terus bergerak maju, menunjukkan bahwa karya anak bangsa mampu bersaing dan berkontribusi di panggung dunia.

 

Oleh Panji Wibowo

Anggota Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN)

Berita Lainnya