Waspadai Komplikasi Paska Terapi Kanker
Salah satu komplikasi yang dialami pasien paska terapi kanker yakni limfadema. #Infotempo
Iklan
Kamis, 8 September 2022
Limfedema adalah pembengkakan yang umumnya terjadi di daerah lengan, kaki, atau wajah yang disebabkan oleh tumpukan cairan getah bening akibat tersumbatnya pembuluh getah bening. Limfedema merupakan salah satu komplikasi yang dialami oleh pasien paska terapi kanker.
Risiko berkembangnya limfedema tergantung pada jenis operasi yang dilakukan, faktor risiko pasien seperti obesitas atau penambahan berat badan setelah operasi, faktor pengobatan seperti radiasi atau beberapa jenis kemoterapi, dan komplikasi setelah operasi.
Cairan getah bening yang sebagian besar mengandung protein dan sel darah putih (sel darah yang melawan infeksi) merupakan salah satu bagian dari sistem limfatik atau sistem pertahanan tubuh dalam membasmi infeksi. Dalam menjalankan fungsinya, cairan getah bening (cairan limfe) akan beredar di dalam pembuluh getah bening.
Ketika terjadi kerusakan pembuluh getah bening, aliran cairan getah bening akan tersumbat dan mengakibatkan pembengkakan di bagian tubuh tertentu. Adapun faktor risiko limfedema yakni seseorang yang menjalani operasi besar, termasuk pengangkatan kelenjar getah bening dan yang menjalani terapi radiasi di lokasi dimana terdapat kelenjar getah bening, memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami limfedema.
Limfedema dapat muncul 2 sampai 3 tahun paska operasi. Namun, harus diingat bahwa risiko tetap ada seumur hidup dan risiko akan meningkat akibat cedera pada anggota badan.
Dalam beberapa kasus, prosedur pembedahan dapat membantu memperbaiki drainase limfatik. Lymphaticovenous Anastomosis atau Anastomosis vena limfatik (LVA) adalah tindakan intervensi bedah mikro di mana beberapa pembuluh limfatik dihubungkan (beranastomosis) ke vena kecil di dekatnya. Tujuan LVA untuk mendorong kelebihan cairan getah bening yang terakumulasi di jaringan untuk kembali pada sistem peredaran darah di lengan itu sendiri.
Tindakan lainnya yakni transplantasi kelenjar getah bening. Ini adalah operasi dimana kelenjar getah bening yang sehat dikeluarkan dari satu area tubuh dan ditransplantasikan ke anggota tubuh dengan limfedema. Kelenjar getah bening ini dapat membangun kembali sirkulasi limfatik anggota badan dan memperbaiki gejala.
Mikroskop dengan sistem visualisasi robotik yang mengkombinasikan teknologi visualisasi optik dan digital. Mikroskop ini mendukung performa dokter bedah dalam melakukan prosedur pembedahan yang melibatkan pembuluh darah, limfe, dan saraf termasuk pembedahan LVA dan operasi tumor atau kanker.
“Kejadian limfedema pada sisi yang sama dengan payudara yang terkena banyak menimpa pasien pasca operasi kanker payudara," kata Dokter Spesialis Bedah Konsultan Onkologi Mayapada Hospital Jakarta Selatan, Dr. Bayu Brahma, SpB(K)Onk.
Bayu menjelaskan, saat ini penanganan limfedema menuju ke arah preventif, salah satunya dengan deteksi dini melalui teknologi imaging fluorescence menggunakan ICG lymphography. ICG ini merupakan pencitraan yang sensitif untuk deteksi dini limfedema sehingga dapat segera dilakukan penanganan apabila ditemukan lebih awal.
“Saat ini tindakan bedah penanganan kanker payudara telah semakin advance untuk menurunkan morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kemajuan tersebut adalah operasi minimal invasive seperti breast conserving surgery, biopsi kelenjar getah bening sentinel yaitu teknik operasi kelenjar getah bening daerah ketiak untuk mencegah limfedema, serta rekonstruksi payudara dengan bedah mikro,” ujar Bayu.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi Onkologi Mayapada Hospital Jakarta Selatan, Prof. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM, mengatakan, setelah operasi, tergantung hasil stadium patologi dan hasil pemeriksaan patologi dan immunohistokimia mungkin diperlukan terapi tambahan (adjuvant therapy). "Terapi tambahan bisa berupa kemoterapi, antibodi monoclonal, terapi hormonal juga radioterapi," kata dia.
Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Mayapada Hospital Jakarta Selatan (MHJS) dr. Ratnawati Soediro, SpOnk.Rad, menbahkam, dokter juga dapat merekomendasikan terapi radiasi setelah operasi kanker payudara. Terapi radiasi kanker payudara dapat berlangsung dari tiga hingga enam minggu, tergantung pada kondisi klinis pasien.
"Dokter ahli onkologi radiasi akan menentukan teknik dan dosis radiasi yang terbaik berdasarkan kondisi klinis pasien, jenis kanker, stadium, dan lokasi tumor," ujar Ratnawati.
Ratnawati menjelaskan, Mayapada Hospital memiliki pesawat Radioterapi LINAC (Linear Accelerator) yang memiliki keunggulan teknologi mutakhir terkini sehingga dapat mendistribusi sinar radiasi maksimal pada target sel kanker dan minimal pada sel jaringan sehat. Radioterapi LINAC tersebut dapat melakukan advanced techniques termasuk verifikasi 4D apabila dibutuhkan, sehingga presisi dan akurasi meningkat, lebih nyaman, serta efek samping yang minimal.
"Keamanan pasien adalah fokus utama pelayanan kesehatan kami. Karena itu pesawat LINAC Mayapada Hospital memberi proteksi khusus bagi organ jantung terutama pada kanker payudara kiri dengan teknik deep inspiration breath hold (DBIH)," ujarnya.
Oncology Center Mayapada Hospital menyediakan layanan komprehensif dalam penanganan tumor dan kanker dengan peralatan terkini serta kolaborasi multi-spesialisasi dokter, mulai dari deteksi dini, diagnosis, terapi tindakan bedah, kemoterapi, imunoterapi dan radioterapi, hingga rehabilitasi medis saat proses penyembuhan. (*)