Budaya Nusantara sebagai Daya Tarik Wisata Halal
Inti wisata halal adalah menyediakan fasilitas yang menjiwai nilai-nilai Islam. Ritual keagamaan yang sudah menjadi budaya, seperti perayaan maulid, bisa diangkat sebagai objek wisata halal. #Infotempo
Iklan
Senin, 20 Juni 2022
Pemerintah terus memacu pengembangan pariwisata halal untuk memulihkan sektor pariwisata nasional pasca pandemi Covid-19. Ada banyak potensi wisata halal yang berpeluang ditonjolkan, mulai dari panorama alam, budaya, sejarah, hingga kekayaan kuliner Nusantara.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat RI, Teuku Riefky Harsya, menuturkan, wisata merupakan program pembangunan prioritas pemerintah dan menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto Indonesia, serta menyerap banyak tenaga kerja.
Dia tidak menampik, sektor wisata saat ini memerlukan dukungan ekstra untuk pulih kembali selepas pandemi. Pasalnya, di saat pandemi melanda seluruh dunia, pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat.
“Destinasi pariwisata sepi pengunjung, vakum selama dua tahun,” kata politikus Partai Demokrat itu dalam diskusi ‘Strategi Branding Kebudayaan untuk Percepatan Pertumbuhan Pariwisata Halal Indonesia di Era Next Normal’ yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kamis 9 Juni 2022.
Menurut Riefky, setelah banyak negara mencabut kebijakan karantina dan pembatasan aktivitas, dunia kini menuju era ‘next normal’. Pencabutan pembatasan tersebut membuat sektor wisata, termasuk wisata halal, pelan-pelan menggeliat.
Ia mengimbuhkan, wisata halal adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Global Travel Market Index memprediksi akan ada 230 juta wisatawan muslim secara global pada 2026. Sementara Global Islamic Economic Report menyebutkan, perputaran uang dari wisata halal mencapai US$ 274 miliar pada 2023.
“Hal inilah yang membuat banyak negara berlomba-lomba mengembangkan wisata halal,” ucap wakil rakyat dari daerah pemilihan Aceh I ini.
Indonesia sendiri memiliki banyak destinasi wisata halal yang tersebar di Aceh, Lombok, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, dan Jakarta.
Dia berujar, untuk mendukung wisata halal, semua pemangku kepentingan perlu menggalakkan branding atau pencitraan produk mengenai kekayaan wisata Indonesia. Contohnya adalah dengan membentuk citra akan keanekaragaman budaya Nusantara.
“Budaya kita adalah kekayaan dan daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Di Aceh misalnya, jika budaya dan syariah bisa dikelola dengan baik dan branding yang tepat, akan menjadi daya tarik yang luar biasa.”
Berbicara dalam diskusi yang sama, pegiat Aceh yang juga founder Program Pascasantri Aceh, Miswar Ibrahim Njong, mengungkapkan selama ini banyak mispersepsi perihal konsep wisata halal di tengah masyarakat. Kesalahpahaman itu membuat industri wisata halal jalan di tempat.
Wisata halal, dia memaparkan, sesungguhnya adalah konsep pariwisata yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yang bertujuan memberikan fasilitas dan layanan nan ramah muslim. Meski begitu, wisata halal juga bisa dinikmati wisatawan yang tidak beragama Islam.
“Aceh termasuk 1 dari 13 daerah yang diprioritaskan pemerintah pusat menjadi daerah wisata halal. Dengan kekayaan alam, budaya, dan sejarah seharusnya Aceh bisa selangkah lebih maju dalam menggaet wisatawan,” katanya.
Miswar menimpali, sektor wisata penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah. Sektor wisata merupakan penyumbang devisa nomor tiga setelah kelapa sawit dan migas. Bahkan, negara yang bukan mayoritas muslim juga menggarap wisata halal, seperti Jepang, Thailand, dan Eropa.
“Di negara bukan muslim, wisata halal dimaknai penambahan fasilitas, misalnya di hotel ada sajadah, kiblat, dan tempat wudu,” ujarnya. Sedangkan dalam konteks Aceh dan Indonesia yang mayoritas muslim, wisata halal seharusnya bisa bermakna lebih luas dari sekadar fasilitas ibadah.
Dikatakan Miswa, kriteria pertama wisata halal di Indonesia adalah dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, mampu memberikan penyegaran dan ketenangan berpikir bagi wisatawan. Dia mencontohkan, warga barat yang haus terhadap spiritualitas timur kini berbondong-bondong ke India.
“Kita juga perlu mengekspos ritual keagamaan yang sudah menjadi kebudayaan, seperti perayaan maulid dengan zikir barzanji, supaya dilihat muslim dunia menjadi daya tarik,” kata dia.
Kriteria wisata halal berikutnya adalah menghindari kemusrikan dan khurafat alias tahayul, bebas maksiat, menjaga keamanan dan kenyamanan, menjaga kelestarian lingkungan, serta menghormati nilai-nilai sosial, budaya, maupun kearifan lokal.
Dia pun menegaskan, wisata halal bukanlah bukan islamisasi wisata. Inti wisata halal ialah menyediakan fasilitas yang menjiwai nilai-nilai Islam, yang menciptakan kebersihan dan keindahan, misalkan dengan sekadar memastikan toilet masjid bersih.
Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kominfo, Wiryanta, mengingatkan peran generasi milenial dan generasi Z yang jumlahnya lebih dari 50 persen penduduk Indonesia dalam mendukung pertumbuhan wisata halal. “Generasi produktif ini harus menguasai teknologi digital untuk menunjang produktivitas nasional,” kata dia.
Dalam program literasi nasional, Wiryanta menyebut, Indonesia harus berpegang pada empat pilar, yakni etika digital, kultur digital, keterampilan digital, dan keamanan digital. Sementara cakupnnya harus melibatkan semua kalangan supaya melek teknologi digital. “Setelah melek, dilanjutkan dengan penguasaan dan pemanfaatan teknologi digital berbasis kearifan lokal, ajaran agama, dan budaya.”