Pertemuan Sherpa Kedua Bahas Pangan sampai Krisis Rusia-Ukraina

Pentingnya tindakan kolektif dan kolaborasi atasi krisis global.

Iklan

Kamis, 19 Mei 2022

Petemuan Kedua Sherpa GCRG (Global Crisis Response Group) telah digelar pada Jumat 18 Mei 2022 malam. Pertemuan itu untuk membahas kembali berbagai upaya dalam mengatasi tantangan krisis global, terutama yang terkait dengan Pangan, Energi, dan Keuangan global, sebagai dampak dari konflik Rusia-Ukraina.

Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso selaku Sherpa GCRG Indonesia bersama dengan Sherpa GCRG dari Bangladesh, Denmark, Jerman, Senegal, dan Barbados menghadiri pertemuan secara virtual yang dipimpin oleh Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina J. Mohammed dan turut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), Rebecca Grynspan.

Melanjutkan pertemuan Sherpa GCRG pertama, Sherpa negara-negara Champions GCRG kembali membahas rencana pelaksanaan pertemuan pertama Champions Grup, yang terdiri dari para Kepala Negara atau Pemerintahan GCRG, dan mengumpulkan masukan terkait Konsep Brief GCRG Nomor 2 yang telah disusun oleh GCRG Task Team.

UNCTAD memandang pentingnya forum G7 dan G20 untuk mendengarkan suara dari negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Senegal, dan Barbados. Selain itu, UNCTAD menyerukan agar Jerman dan Indonesia dapat menggalang dukungan politik melalui Presidensi G7 dan G20.
Dalam merespon krisis energi, GCRG menekankan pentingnya mencari titik temu untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini tanpa menghambat proses transisi energi yang setara, merata dan adil. GCRG akan kembali menerbitkan Brief GCRG kedua pada pekan ke-4 Mei 2022 yang berfokus pada isu pangan dan pupuk.

GCRG juga menekankan pentingnya mendorong debt suspension initiative dan alokasi Special Drawing Rights (SDR) baru bagi negara-negara berkembang, untuk membantu krisis finansial akibat pandemi yang diperparah oleh krisis pangan, energi, dan keuangan akibat konflik Rusia dan Ukraina.

Forum G20 sebagai Premier Economic Forum, mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu menyelesaikan permasalahan krisis global. Dengan tantangan yang ada dan krisis global yang terjadi saat ini, G20 melalui Working Group diharapkan dapat melakukan sinkronisasi dan sinergi concrete deliverables dengan inisiatif yang dibangun oleh negara anggota GCRG.

Sebagai Presidensi G20 2022, Indonesia menekankan pentingnya tindakan kolektif dan kolaborasi diantara negara-negara maju dan berkembang sebagai tujuan inti G20. “Tindakan kolektif dan kolaborasi yang inklusif diantara negara-negara maju utama dan negara berkembang di seluruh dunia, yang menjadi tujuan inti dari G20, sangat diperlukan dalam upaya mengatasi krisis global," kata Sesmenko Susiwijono.

Susiwijono menjelaskan, pada WG Environment and Climate Sustainability, anggota G20 telah mendesak negara-negara maju untuk memenuhi komitmen untuk memobilisasi implementasi pendanaan iklim. Pendanaan baru dan tambahan diperlukan untuk adaptasi perubahan iklim yang lebih lancar.

Krisis energi yang muncul akibat konflik Rusia-Ukraina harus segera ditanggapi dengan pengembangan sumber energi alternatif. Dalam WG Energy Transition, negara-negara anggota fokus pada peningkatan aksesibilitas energi, khususnya target global pada akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).

Kerjasama internasional dalam solusi teknologi sangat penting dalam mengurangi emisi, termasuk di sektor listrik dan industri yang pada tenergi. Menyangkut isu keuangan dalam Presidensi G20 Indonesia, terdapat urgensi untuk mendorong upaya global yang terkoordinasi dalam rangka membantu negara-negara yang berjuang dengan berbagai tantangan.

“G20 sebagai forum ekonomi utama, memiliki peran sangat penting dalam mengatasi risiko global. Selain potensi krisis pangan, energi, dan keuangan global, penanggulangan inflasi juga menjadi prioritas dan harus direspon dengan kebijakan yang terkalibrasi, terencana, dan terkomunikasikan dengan baik," ujarnya.

Selain itu, Susiwijono juga menjelaskan perlunya menjaga kepercayaan ekonomi domestik dan memastikan penanganan pandemi berjalan efektif, merupakan hal yang fundamental dalam menopang pemulihan ekonomi ditengah meningkatnya risiko global. Bantuan sosial yang ditargetkan untuk mereka yang terdampak dan rentan terkena dampak dari kenaikan harga, bersama dengan upaya untuk membangun penyangga fiskal dan mendorong kesinambungan fiskal, sangat penting dalam merespon peningkatan risiko global.

Deputi Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed, berharap konflik Rusia-Ukraina dapat segera berakhir agar potensi krisis tiga dimensi tidak berkelanjutan. “Untuk mengakhiri berlanjutnya krisis pangan, energi dan keuangan diperlukan peran para Champion dalam menggalang dukungan politik dalam kapasitas masing-masing”, kata Amina Mohammed.

Indonesia juga menyerukan political will dan kerjasama yang kuat dari semua pihak terkait untuk menghentikan krisis global. “Kuncinya adalah konflik harus segera dihentikan," kata Sesmenko Perekonomian merespon pernyataan Deputi Sekretaris Jenderal PBB terkait upaya mengakhiri krisis pangan, energi dan keuangan.

Sebelum pertemuan Sherpa, Sesmenko Perekonomian juga menghadiri Pertemuan Steering Committee GCRG on Food, Energy, al and Finance yang diselenggarakan secara virtual pada hari yang sama. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Deputi Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed sebagai Ketua Steering Committee dilanjutkan dengan penyampaian analisa dan rekomendasi awal Brief Nomorb2: the Cost of Living Crisis yang disampaikan oleh Sekjen UNCTAD Rebeca Grynspan.

Paparan UNCTAD memperoleh respon dari para anggota Steering Committee GCRG, antara lain perwakilan dari WHO, International Chamber of Commerce, African Development Bank, Islamic Development Bank, ILO, UNECE, ECA, UNEP, UNICEF, VCMI, IFAD, danIMF.

Sebagai respon terhadap krisis Pangan, Energi dan Keuangan, GCRG Task Team merumuskan beberapa rekomendasi awal untuk Brief Nomor 2. Penanganan krisis pangan perlu memastikan pasokan pangan yang adil, mendukung sistem perlindungan sosial, dan mengaktifkan bantuan kemanusiaan.

Krisis keuangan juga perlu direspon dengan menyiapkan global debt architecture dengan mengedepankan common framework, memperbaharui Debt Service Suspension Initiative (DSSI), dan memastikan berkurangnya gap pembiayaan jaminan sosial negara berkembang. Rekomendasi kebijakan untuk krisis energidilakukanmelaluipengelolaanpermintaanakanenergi,meningkatkanbantuansosial yang tepat sasaran melalui kebijakan jangka pendek dan mempercepat energiterbarukan.

Dalam pertemuan ini Sesmenko Perekonomian didampingi oleh Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional, Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi, serta ikut hadir Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri, Tri Tharyat.

Berita Lainnya