Tiga Srikandi Penjinak Hutan Terbakar
Siap meninggalkan keluarga demi tugas. Harus mahir mengendalikan helikopter yang membawa ribuan liter air dan personel TRC.
Tempo
Rabu, 9 Maret 2022
Pilot helikopter waterbombing adalah profesi yang akrab dengan ancaman bahaya. Salah perhitungan, amukan api yang membakar hutan dapat menjadi sumber bencana. Karena itu, tidak banyak peluang untuk menjadi pilot yang tugas kesehariannya adalah memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Siapa sangka, kesempatan itu menghampiri Velyn Angelica (22 tahun), Jeanette Febrina (34 tahun), dan Indria Pujiastuti (34 tahun).
Indria, biasa disapa Indri, mantan anggota kepolisian dan pernah menjadi pramugrari VIP Polri. Namun, keinginannya untuk menjadi pilot tak terbendung. Ia berpikir, menjadi pilot jauh lebih menantang dibandingkan sekadar awak kabin.
Setelah mendapat kesempatan menjadi pramugari di maskapai penerbangan swasta, Indri mulai mengejar mimpinya. Berbekal pundi-pundi uang hasil kerja kerasnya sebagai pramugari, ia pun mengenyam sekolah penerbangan pada 2014.
Kini, ibu satu putra itu bergabung dengan APP Sinar Mas untuk mengamankan daerah-daerah yang rawan karhutla di Kalimantan dan Sumatera. “Saya ingat, saat jadi awak kabin sering pura-pura merasa menjadi pilot seperti announce sendiri ke penumpang bahwa saya pilotnya. Ternyata (mimpi) itu kesampaian,” kata Indri saat menceritakan kisahnya bersama Velyn dan Jeanette dalam talkshow Live Instagram yang diselenggarakan APPStoryID, beberapa waktu lalu.
Sedangkan Jeanette adalah mantan pramugari Garuda Indonesia. Beberapa tahun menjadi awak kabin, perempuan berkulit sawo matang ini berpikir untuk menapaki karier lain. Pilihannya jatuh pada profesi pilot, yang menurutnya sangat menantang.
“Sebenarnya saya yakin saja, yang tidak mungkin itu bisa saja terjadi asal mau berusaha. Tak ada yang menyangka saya bisa jadi pramugari di Garuda karena kulit saya gelap, tapi saya bisa,” kata mahasiswa jurusan Manajemen Transportasi Universitas Trisakti ini.
Di antara dua perempuan itu, kisah lebih unik dan nekat justru dialami Velyn. Ia memilih karier menjadi pilot karena ingin cepat bekerja dan cepat mandiri, tidak bergantung pada orang tua. Selapas SMA, gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat, ini berangkat seorang diri ke Jakarta untuk melamar menjadi siswa di Sekolah Penerbangan Ganesa Dirgantara. Selama proses itu, ia sama sekali tak didampingi keluarga, bahkan selama satu tahun empat bulan hingga tamat studi.
Beruntung, orang tuanya memberi dukungan finansial selama pendidikan sekolah penerbang. Pasalnya pendidikan menjadi pilot membutuhkan biaya hingga Rp1 miliar.
Berselang satu tahun, ia mendapatkan tawaran menerbangkan helikopter waterbombing oleh APP Sinar Mas dan harus mengeyam pendidikan lanjutan selama enam bulan lagi. “Saya pikir waktu itu, enak ya jadi pilot. Keren. Tapi setelah dijalani tidak mudah juga,” ucap Velyn.
Menerbangkan helikopter pembom air memang tidak mudah. Apalagi, tiga srikandi ini memiliki latar belakang sebagai pilot pesawat bersayap tetap (fixed wing). Namun, tuntutan tugas membuat mereka harus bekerja keras untuk mempelajari teknik menerbangkan pesawat jenis baling-baling.
Kepiawaian menerbangkan helikopter menjadi keharusan, karena saat bertugas selain menggendong ribuan liter air, juga para personel tim reaksi cepat (TRC). Terkadang, pilot dituntut untuk menurunkan personel TRC di titik lokasi tertentu yang berdekatan dengan titik api (hotspot).
“Saya sempat di fixed wing ikut private lesson, tapi waktu dikonversi ke helikopter benar-benar sulit. Setiap pulang training nangis. Harus diapakan heli ini,” kata Indri.
Perasaan serupa dialami Jeanette dan Velyn. Bahkan Jeanette sempat sebal karena helikopter memiliki karakter yang sangat berbeda dengan pesawat fixed wing. Namun, beragam rintangan itu dapat dilalui karena keteguhan hati untuk bekerja secara profesional sebagai pilot.
Tugas rutin mereka adalah melakukan patroli udara untuk memantau lokasi-lokasi yang rawan mengalami karhutla. Terkadang, mereka terpaksa melakukan pendaratan di sekitar titik api untuk menurunkan personel TRC. Di sinilah tantangannya, karena dibutuhkan ketenangan dan kerja sama dengan personel.
Awalnya, leader TRC akan mengarahkan pilot untuk melakukan size-up, dan menginformasikan pusat kendali atau situation room di fire base melalui radio komunikasi terkait adanya temuan titik api.
Operasi pemadaman itu tergantung dengan kondisi api dan penilaian dari Ketua TRC, apakah akan melibatkan penggunaan helikopter pembom air atau memobilisasi RPK yang ada di pos terdekat.
“Jujur saat pertama bertugas saya grogi dan takut. Ada api, asap tebal, belum lagi mata pedas. Tapi karena ikuti standarnya, akhirnya bisa. Saya juga sering ngobrol (belajar) dengan kapten,” kata Jeanette.
Tak berbeda jauh, Indri pun mengaku dirundung rasa takut sangat pertama kali bertugas. Layaknya naluri manusia, seharusnya api dijauhi tapi ini justru didekati. Akan tetapi, Indri selalu termotivasi untuk berhasil menyelesaikan tugasnya tak lain karena ingin membuat keluarganya yang ditinggal di rumah merasa tenang.
Bekerja jauh dari keluarga dan meninggalkan buah hati, terkadang sampai dua pekan, memang tak mudah bagi Indri. Terlebih, ia harus meninggalkan putra kesayangannya yang baru berusia empat tahun.
Walau demikian, ia menyadari pekerjaan ini sudah menjadi pilihannya. “Paling sulit itu, saat mau pergi anak rewel. Tentunya, saya sebagai perempuan jadi kepikiran. Tapi alhamdulillah sudah ada triknya, biasanya saya ajak bicara dulu sebelum berangkat,” ujar Indri.
Bagi Indri, keluarga dan karier sama penting, sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan yang bekerja. Dalam dunia kerja, perempuan juga dituntut profesional sehingga tidak boleh mengharapkan adanya keistimewaan dibandingkan laki-laki. Terpenting, perempuan harus pintar dalam membagi waktu mengingat fungsi mengandung, menyusui, dan menjadi ibu tidak bisa digantikan oleh laki-laki.
Adapun Jeanette bersyukur keluarganya mau mengerti karena absen dalam acara keagamaan lantaran penugasan di luar kota.
Terlepas dari sekelumit tantangan yang harus dihadapi para perempuan tangguh ini, tak banyak yang tahu bahwa profesi sebagai pilot itu demikian menyenangkan. Velyn mengaku sangat menikmati ritme pekerjaan sebagai pilot. Ia bisa mengecap libur selama 20 hari, setelah menjalani tugas sekitar dua pekan.
Saat di lokasi pekerjaan, Velyn mengaku tidak didera kebosanan karena relatif bisa menyesuaikan dengan anggota TRC. Terkadang, ia melakukan aktivitas seperti memasak, karaoke dan lainnya di saat jeda setelah tugas waterbombing. “Selama menunggu jadwal baru, biasanya saya jalan-jalan (liburan). Secara pendapatan juga bisa dikatakan pilot itu sangat menjanjikan,” ucapnya.
Menjalani profesi sebagai pilot, gadis berkulit putih ini mengaku lebih banyak suka dibandingkan duka. Namun begitu, style Velyn yang selalu tampak feminim membuat banyak orang meragukan kemampuannya dalam menerbangkan helikopter. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang harus dibuktikan dengan berkerja secara profesional.
Demikian juga bagi Jeanette. “Saya malah berharapnya, tak ada lagi embel-embel pilot perempuan. Pilot, ya pilot saja,” ucap perempuan yang berharap nantinya bisa merambah ke bisnis aviasi.