Aprobi: Biodiesel Bukan Penyebab Gejolak Harga Minyak Goreng
Produksi CPO nasional lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dan biodiesel. Penikmat insentif biodiesel sesungguhnya adalah konsumen.
Tempo
Selasa, 22 Februari 2022
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) angkat bicara mengenai polemik yang menyebutkan produksi biodiesel sebagai penyebab gejolak harga minyak goreng belakangan ini. Tersedotnya pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) oleh program B30 dituding telah menyebabkan harga minyak goreng melambung hingga menembus Rp 20 ribu per liter.
Menanggapi pendapat tersebut, Ketua Umum Aprobi, M.P. Tumanggor, menegaskan bahwa kebutuhan CPO untuk pembuatan biodiesel tidak akan menganggu pasokan untuk minyak goreng, begitu pula sebaliknya. Menurut dia, kebutuhan CPO untuk minyak goreng dan makanan sepanjang 2021 hanya sekitar 8,5 juta ton.
Sedangkan kebutuhan CPO industri oleokimia sebesar 1,7 juta ton dan industri biodiesel 8,17 juta ton. Sehingga jika dijumlahkan penyerapan domestik minyak sawit mentah hanya sekitar 18,37 juta ton per tahun. “Padahal produksi minyak sawit mencapai 46,88 juta ton per tahun. Terlihat bahwa kebutuhan produksi biodiesel tidak mengganggu produksi minyak goreng,” ucap Tumanggor.
M.P. Tumanggor, Ketua Umum Aprobi
Menurut dia, Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan luas lahan perkebunan sekitar 15 juta hektare. “Hasilnya mencapai 47 juta ton pada 2021,” ujarnya.
Mengacu pada data tersebut, ia menepis analisis yang menyebutkan penyerapan CPO oleh biodiesel sebagai biang keladi kenaikan harga minyak goreng. Tumanggor menuturkan, harga minyak makan dari bahan sawit, minyak biji rapa, minyak kedelai, maupun minyak biji bunga matahari naik di seluruh dunia karena perubahan iklim.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), kata Tumanggor, melaporkan kenaikan signifikan pada indeks harga minyak nabati sebesar 4,2 persen secara bulanan pada Januari 2022. Tren kenaikan itu dipicu kenaikan harga sejumlah komoditas seperti minyak sawit, kedelai, lobak dan minyak biji bunga matahari. “Harga minyak makan di seluruh dunia naik bukan karena program biodiesel Indonesia,” ucap dia.
Berikutnya, kenaikan harga kedelai dunia didukung oleh penguatan impor dari India. Sementara penguatan harga minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari masing-masing ditopang terbatasnya pasokan dan melonjaknya permintaan impor global. Tak hanya itu, naiknya harga minyak mentah juga mendongkrak harga minyak nabati internasional.
Analisis Tumanggor sejalan dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Menurut organisasi itu, faktor utama yang menyebabkan harga minyak nabati dunia naik adalah pasokan yang turun dan permintaan yang naik. Salah satu penyebab penurunan produksi CPO adalah Malaysia terhambat masalah tenaga kerja pada masa pandemi Covid-19.
Begitu pula produksi sawit Indonesia tidak naik karena masalah pemupukan. Gapki memperkirakan situasi ini akan bertahan setidaknya hingga semester I 2022. Setelah itu, lambat laun harga akan turun seiring naiknya produksi minyak nabati dunia.
Menjawab tudingan menerima insentif biodiesel senilai puluhan triliun rupiah per tahun dari pemerintah, Tumanggor menyatakan produsen menjual biodiesel ke badan usaha bahan bakar minyak (BU-BBM) dengan harga keekonomian. Formula harga diatur oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 105 K/12/MEM/2020 tentang Harga Indeks Pasar. “Besarnya senilai harga CPO ditambah US$ 85 sebagai biaya proses,” Tumanggor mengungkapkan.
Sementara BU-BBM seperti PT Pertamina (Persero), kata Tumanggor, hanya boleh membayar biodiesel sesuai harga solar yang ditentukan Kementerian ESDM. Namun, karena saat ini harga keekonomian biodiesel lebih tinggi dari harga solar, maka selisih harga tersebut dibayar oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Selama ini BPDPKS memungut dana dari eksportir dari seluruh komoditas berbasis CPO. Selain menutup biaya selisih harga FAME dengan solar, dana yang dikumpulkan untuk membiayai replanting perkebunan sawit petani, biaya research and development dan campaign sawit.
Berdasarkan data BPDPKS, insentif yang dibayarkan selama 2021 mencapai Rp 51,8 triliun untuk pengadaan 9,74 juta kiloliter biodiesel. Tahun ini pemerintah menargetkan 10,15 juta kiloliter.
Mengacu pada skema tersebut, Tumanggor menimpali, jelas tidak ada insentif ataupun subsidi yang diberikan pemerintah kepada produsen karena biodiesel dibeli oleh BU-BBM dengan harga keekonomian sesuai Permen ESDM. “Penerima insentif sesungguhnya adalah masyakarat pengguna biosolar lantaran dapat memakai energi yang lebih bersih dengan harga setara solar,” ujarnya.
Ihwal penggunaan biofeul atau biosolar, Tumanggor mengatakan banyak pemilik kendaraan yang tidak paham bahan bakar solar B30. Menurut dia, B30 adalah merupakan campuran solar dengan bahan bakar minyak nabati (BbN). “Bahan baku nabati dari minyak sawit yang kemudian diproses menjadi FAME (fatty acid mety ester). Jadi arti B30 adalah campuran dari komposisi Solar 70 persen dan FAME 30 persen,” tuturnya.
Kementerian ESDM sebelumnya, mengungkapkan implementasi program B30 sepanjang 2021 menghemat devisa senilai Rp 66,54 triliun dari pengurangan impor solar. Program B30 dinilai berhasil mendorong stabilitas harga sawit dan membuat komoditas tersebut masuk super cycle atau mengalami kenaikan harga dalam waktu panjang.
Tumanggor lantas menjelaskan perihal proses pembuatan biodiesel. Produksi biodiesel, ujarnya, dimulai dari pengolahan tandan buah segar (TBS) sawit oleh pabrik kelapa sawit (PKS) menjadi CPO.
PKS mendapat TBS dari dua sumber, yakni kebun rakyat dan kebun korporasi. CPO kemudian dibeli oleh pabrik biodiesel dan diolah menjadi refined bleached deodorized palm oil (RBDPO).
Selain dibeli dari tender PKS, dia menambahkan, produsen biodiesel juga mendapatkan CPO dan RBDPO dari kebun sawit milik perusahaan yang bernaung dalam satu grup. Namun, Tumanggor mengklaim, lebih dari 80 persen kebutuhan CPO produsen biodiesel dipenuhi dari PKS di luar grup perusahaan.
Selanjutnya, RBDPO diesterifikasi dengan metanol dan katalis asam, lalu mendapat proses transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa menjadi biodiesel dan gliserin. “Biodiesel kemudian dikirim ke BU-BBM untuk dicampur dengan solar,” kata dia. Dalam program B30, komposisi biosolar terdiri dari 30 persen biodiesel dan 70 persen solar.
Tumanggor menyebutkan, saat ini jumlah produsen biodiesel yang terdaftar sebagai anggota Aprobi sebanyak 25 produsen. Sedangkan produsen yang aktif dan mendapatkan alokasi untuk memasok biodiesel ke BU-BBM sebanyak 22 produsen.
Kebutuhan biodiesel sebagai campuran solar pada program B30 sepanjang 2022 ditaksir sebesar 10,15 juta kiloliter. Jumlah itu berarti 30 persen dari konsumsi solar nasional sebanyak 31 juta kiloliter.
Adapun kapasitas produksi biodiesel anggota Aprobi sebesar 14,5 juta kiloliter. Namun, kapasitas produksi maksimal yang dapat dihasilkan hanya sekitar 80 persen atau 11,6 juta kiloliter. Sehingga masih cukup untuk memenuhi target pemerintah.
Kebijakan penggunaan biodiesel berlaku sejak 2008 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008, yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Kebijakan ini meregulasi penggunaan progresif biodiesel yang dicampur dengan solar dari 2,5 persen pada 2008 menjadi 30 persen pada 2020.
Aprobi, kata Tumanggor, mengapresiasi Presiden Jokowi tentang penerapan program energi terbarukan melalui program B30. “Petani sawit sejahtera, impor solar turun drastis. Penerimaan devisa meningkat dan neraca perdagangan membaik,” ujarnya.
Kebijakan ini sejalan dengan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) meningkatkan proporsi penggunaan energi terbarukan di Indonesia dari lima persen pada 2013 menjadi 23 persen di 2025 dan 31 persen pada 2050. Indonesia sudah menjadi anggota Perjanjian Paris (Paris Agremeent) yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030.