Forum LSM Aceh Serahkan Petisi Minta MA Segera Eksekusi PT Kallista Alam
Petisi yang diluncurkan melalui laman change.org tersebut telah mendapatkan lebih dari 8.000 dukungan dari masyarakat.
Tempo
Kamis, 23 Desember 2021
Jakarta – Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh (Forum LSM Aceh) serahkan petisi ke Mahkamah Agung (MA). Petisi tersebut berisikan permintaan kepada MA agar segera mengambil alih eksekusi kasus PT Kallista Alam (PT KA), perusahaan kelapa sawit yang membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektar.
“Kami sangat berharap agar MA dapat mendengarkan suara masyarakat di Aceh dan kasus ini dapat segera dieksekusi”, tutur Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan usai penyerahan petisi di kantor MA, Jakarta Pusat pada Senin (20/12/2021).
Petisi yang diluncurkan melalui laman change.org tersebut telah mendapatkan lebih dari 8.000 dukungan dari masyarakat.
Sudirman menegaskan, putusan ini penting segera dieksekusi untuk memperlihatkan kekuatan suatu putusan peradilan.
Hal senada juga diungkapkan Jafar, Kepala Desa Blang Luah, Kec. Darul Makmur, Kab. Nagan Raya, Aceh,yang turut hadir di gedung MA. Ia berharap putusan bisa segera dieksekusi, mengingat kasus ini sudah berlarut-larut hingga 9 tahun.
“PT KA masih terus beroperasi dan denda untuk pemulihan hutan sama sekali belum terealisasikan,” tutur Jafar.
“Kami khawatir, jika ini tidak segera dieksekusi, perusahaan lain atau bahkan masyarakat akan mencontoh perbuatan PT KA,” tambah Jafar.
Forum LSM Aceh bersama beberapa kepala desa juga mendatangi Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) di Jakarta Pusat pada Selasa, 21 Desember 2021, untuk melaporkan berlarut-larutnya proses eksekusi kasus PT KA. Kedatangan mereka disambut baik oleh staf Bawas MA, Bram Budi Nurcahyo, SE., Ak., MH.
“Kita menyambut baik kedatangan masyarakat Aceh untuk melakukan pengaduan terhadap eksekusi putusan kasus yang belum berjalan ini. Kami akan coba proses aduan dari masyarakat Aceh dalam satu minggu ke depan,” ujar Bram.
Sebelumnya, PT KA telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 366 miliar, dengan rincian Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp251,7 miliar.
Sebagai jaminan, PN Meulaboh telah menyita tanah, bangunan, dan tanaman milik PT KA di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur seluas 5.769 hektar pada 4 Desember 2013.
PT KA sempat melakukan berbagai upaya untuk membatalkan putusan itu, bahkan sampai di tingkat Peninjauan Kembali (PK), meskipun akhirnya kandas. Mahkamah Agung tetap memenangkan Kementerian LHK selaku penggugat. Putusan bersifat inkracht dan harus dieksekusi.
Untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue.
Persoalan baru pun muncul. PN Suka Makmue tak juga menjalankan kewenangannya hingga kini. Padahal, menurut Sudirman, tidak ada ganjalan hukum apa pun yang dapat menghalangi eksekusi. Proses eksekusi seharusnya sudah bisa dilakukan sejak empat tahun lalu, tetapi selalu gagal di proses penilaian aset.
Hingga kini, perusahaan masih beroperasi. Tanah, tanaman, serta bangunan yang menjadi jaminan pun masih dikuasai perusahaan.
Kasus ini bermula ketika perusahan kelapa sawit itu melakukan aksi pembakaran di atas lahan sekitar 1.000 hektar di area lahan gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya pada periode 2009-2012. Padahal, area itu merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. PT Kallista Alam membakar lahan itu karena ingin menjadikannya sebagai area perkebunan kelapa sawit.
Rawa Tripa merupakan hutan gambut yang terletak di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang luasnya mencapai 61.803 hektar. Rawa Tripa masuk dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang memasukkannya sebagai kawasan strategis berfungsi lindung.
Inforial