Inforial/20 Tahun Pasca Bergabung Dengan WTO, China Berbagi Manfaat Dengan Dunia
Daya tarik dan pengaruh China yang semakin meningkat dapat dibuktikan oleh rekam jejaknya sebagai anggota WTO yang dapat dipercaya dan pendiriannya yang konsisten dalam memperjuangkan globalisasi dan pembangunan inklusif.
Tempo
Rabu, 10 November 2021
Bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada tahun 2001 menjadi peristiwa bersejarah dalam perkembangan China, tidak hanya dalam hal perubahan fenomenal yang terjadi di China sendiri, tetapi juga interaksinya dengan seluruh dunia, khususnya dampak global dari ekspansi ekonominya.
Berkontribusi rata-rata hampir 30 persen terhadap pertumbuhan ekonomi dunia selama 20 tahun terakhir, China kini memiliki populasi berpenghasilan menengah terbesar di dunia dan merupakan mitra dagang utama bagi 120 lebih negara dan kawasan, serta mitra perdagangan terbesar bagi Uni Eropa (UE) dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Dengan keterbukaan sebagai ciri perkembangannya, China melihat hubungan ekonominya yang kian terkait dengan para mitranya. Perdagangan China dengan Amerika Serikat (AS) adalah contoh yang tepat. Terlepas dari perselisihan perdagangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan seruan terus-menerus dari beberapa pejabat AS untuk "memisahkan diri dengan China," hubungan ekonomi kedua negara dilandaskan pada lebih banyak fitur yang didefinisikan sebagai "saling bergantung."
Dalam delapan bulan pertama tahun ini, ekspor China ke AS, alih-alih turun, justru meningkat 22,7 persen secara tahunan (year on year/yoy), ungkap data resmi.
Sementara itu, majalah Forbes mengungkapkan bahwa impor dari China menyumbang 19 persen dari total impor barang AS pada 2020, menjadi yang tertinggi di antara seluruh mitra dagang AS. Di sisi lain, empat dari 10 barang impor yang tumbuh paling cepat ke negara itu berasal dari China.
Manfaat dari pertumbuhan perdagangan China-AS bagi rumah tangga AS juga dapat dirasakan. Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa setiap keluarga AS dapat menghemat 850 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.374) per tahun dari perdagangan kedua negara. Mulai dari lampu hingga lilin ulang tahun, dari sandal jepit hingga perangkap tikus, barang-barang "Made in China" telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak rumah tangga AS.
Pada November 2019 lalu, ketika perang tarif yang diprakarsai AS terhadap China menimbulkan kekhawatiran tentang unilateralisme dan proteksionisme, lebih dari 190 perusahaan AS menghadiri Pameran Impor Internasional China (China International Import Expo/CIIE) kedua di Shanghai, menempati area pameran terbesar dibandingkan seluruh negara yang berpartisipasi. Nama-nama besar seperti General Electric Company dan Qualcomm turut menjadi bagian dari delegasi asal AS.
Tahun lalu, hingga 70 persen dari 500 perusahaan dan industri teratas dunia yang berpartisipasi dalam dua edisi CIIE sebelumnya kembali berpartisipasi dalam gelaran CIIE ketiga, termasuk sejumlah pemimpin industri global seperti Ford, Louis Dreyfus, dan Roche.
Tahun ini, total area pameran CIIE keempat, yang dibuka pada Kamis (4/11), diperluas menjadi 366.000 meter persegi. Jumlah peserta pameran dari negara-negara seperti AS, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris akan lebih banyak atau sama dengan pameran sebelumnya, demikian juga dengan total area stan mereka.
Sekitar 90 perusahaan dari 33 negara kurang berkembang diperkirakan akan berpartisipasi di gelaran CIIE keempat, memamerkan sejumlah besar barang khas mereka dan menjadi kesempatan untuk memasuki pasar China.
Pada tahun 2001 lalu, mungkin hanya segelintir orang yang membayangkan China akan menjadi tuan rumah pameran impor pertama di dunia di tingkat nasional untuk berbagi manfaat pembangunan dengan dunia dan mencari jalan keluar guna mendorong pertumbuhan ekonomi global.
Daya tarik dan pengaruh China yang semakin meningkat dapat dibuktikan oleh rekam jejaknya sebagai anggota WTO yang dapat dipercaya dan pendiriannya yang konsisten dalam memperjuangkan globalisasi dan pembangunan inklusif.
Foto yang diabadikan pada 23 Oktober 2021 ini menunjukkan lapangan selatan National Exhibition and Convention Center (Shanghai), venue utama Pameran Impor Internasional China (China International Import Expo/CIIE) keempat, di Shanghai, China timur. (Xinhua/Fang Zhe)
MELAMPAUI KOMITMENNYA DI WTO
China melampaui komitmen yang dibuatnya setelah bergabung ke WTO, sebuah fakta yang mendapat pujian dari beberapa direktur jenderal WTO dan diakui oleh sebagian besar anggota WTO.
China telah memenuhi janjinya untuk menurunkan tarif impor barang menjadi 9,8 persen dari 15,3 persen ketika bergabung dengan WTO 20 tahun lalu. Saat ini, pajak impor keseluruhan China berada di angka 7,4 persen, lebih rendah dibandingkan level rata-rata semua negara berkembang dan mendekati level negara maju yang menjadi anggota WTO.
Lebih lanjut, China juga secara signifikan mengurangi hambatan nontarif untuk perdagangan internasional, menghapus kebijakan nontarif yang mencakup 424 kategori tarif pada Januari 2005.
Dalam hal perdagangan jasa, China berjanji untuk membuka pasar bagi 100 subsektor dalam sembilan kategori usaha pada 2007. Namun faktanya, China membuka hampir 120 subsektor, sekitar 20 persen lebih banyak dari yang dijanjikan.
Sementara itu, peringkat arus keluar investasi langsung tahunan China naik ke posisi ketiga dari 26 ketika China mulai bergabung dengan WTO. Investasi tersebut telah mempercepat kemajuan teknologi di negara-negara tujuan investasi, mempromosikan pembangunan ekonomi mereka, dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal dengan menciptakan kesempatan kerja dalam jumlah besar.
Sejak bergabung dengan WTO, China memainkan peran utama dalam produksi barang-barang konsumsi, melalui keunggulannya dalam tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan sistem manufaktur. Ekspornya telah menyediakan barang-barang berkualitas tinggi dengan harga murah kepada perusahaan dan masyarakat di seluruh dunia.
Tindakan China menunjukkan tekadnya dalam mendukung negara-negara berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, China tetap menjadi pasar ekspor terbesar bagi negara-negara kurang berkembang, menyerap seperlima dari nilai ekspor negara-negara tersebut.
Para pengunjung melihat model maket dari Simpang Susun Qianchun di ruang pameran jasa konsultasi teknik dan konstruksi dalam Pameran Perdagangan Jasa Internasional China (China International Fair for Trade in Services/CIFTIS) 2021 di Beijing, ibu kota China, pada 4 September 2021. (Xinhua/Chen Yehua)
BERJUANG UNTUK MEWUJUDKAN KEMAKMURAN BERSAMA
Sembari berusaha mewujudkan tujuannya, China juga bersedia merangkul dunia dengan tangan terbuka dan menyediakan barang publik untuk mendorong pembangunan global.
Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra yang diusulkan China misalnya telah berkembang menjadi platform kerja sama internasional terbesar di dunia dan barang publik paling populer selama delapan tahun terakhir, dengan lebih dari 200 perjanjian kerja sama ditandatangani antara China dan 170 lebih negara dan organisasi internasional.
Menentang hambatan proteksionis perdagangan, China aktif dalam membangun platform kerja sama yang terbuka. Pembentukan dan penyelenggaraan serangkaian platform terbuka, termasuk Pameran Perdagangan Jasa Internasional China (China International Fair for Trade in Services/CIFTIS), Pameran Produk Konsumen Internasional China, serta CIIE keempat, telah memfasilitasi arus perdagangan tanpa hambatan dan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk ekonomi global.
China bertekad dalam membuka lebih lebar pintunya dan membuat pasarnya lebih mudah diakses. China berjanji untuk memperpanjang insentif pajak bagi para investor luar negeri, memperkenalkan daftar negatif pertama untuk perdagangan jasa, dan lebih lanjut memperluas katalog industri yang mendorong investasi asing.
Sejumlah perusahaan yang didanai asing telah mendapat manfaat dari kehadiran mereka di China dan memberikan mosi percaya dengan dukungan yang lebih besar. Tesla, misalnya, pada tahun ini memutuskan untuk menjadikan gigafactory di Shanghai sebagai pusat ekspor kendaraan utama setelah perusahaan tersebut mendirikan pabrik pertamanya di luar negeri dua tahun lalu.
Namun, jalan menuju ke depan tidak selalu mulus. Meningkatnya de-globalisasi, pandemi yang berkepanjangan, dan perubahan iklim yang membayangi menimbulkan tantangan yang menempatkan dunia pada titik infleksi pembangunan.
Menanggapi tantangan bersama tersebut, China pada KTT G20 Roma yang baru saja berakhir menekankan upaya untuk mempraktikkan multilateralisme sejati, meningkatkan koordinasi kebijakan ekonomi makro, dan mengadopsi kebijakan ekonomi makro yang bertanggung jawab guna menghindari dampak negatif pada negara-negara berkembang.
Dalam mengejar jalur pembangunan hijau, rendah karbon, dan berkelanjutan, China menegaskan kembali targetnya untuk mencapai puncak emisi CO2 sebelum 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum 2060, seraya menyerukan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen pendanaan mereka kepada negara-negara berkembang untuk membantu mereka mengatasi perubahan iklim.
Terlepas dari semua hambatan dan rintangan, banyak hal yang telah direalisasikan dan dicapai dalam dua dekade terakhir. Bagi China, selaku pendorong pertumbuhan global dan pendukung multilateralisme, selalu ada lebih banyak hal yang bisa diharapkan.
Foto dari udara yang diabadikan pada 4 Mei 2021 ini menunjukkan pemandangan Kota Haikou, ibu kota Provinsi Hainan, China selatan. Haikou, kota yang berperan penting dalam inisiatif "Sabuk dan Jalur Sutra" China juga merupakan kota inti untuk pembangunan pelabuhan perdagangan bebas di Provinsi Hainan. (Xinhua/Zhang Liyun)
Selesai