Potensi Besar Energi Terbarukan Indonesia

Pemerintah mendorong pemanfaatan PLTS atap untuk mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan.

Tempo

Jumat, 3 September 2021

JAKARTA – Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana, mengatakan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sekitar 400 ribu megawatt (MW). Dari jumlah itu sekitar 50 persen adalah energi surya. Saat ini energi surya baru 150 MW atau 0,08 persen dari potensi.

"Sudah menjadi budaya global, dunia bergerak cepat mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan. Tuntutan green product yang dihasilkan oleh green industry meningkat dan bahkan menjadi keharusan jika tidak ingin produknya dikenakan carbon border tax di tingkat global," ujar Dadan, Kamis, 2 September 2021.

Menurut Dadan transformasi energi terbarukan sesuai Presiden Joko Widodo. "Transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Green economy, green technology, dan green product harus diperkuat agar bisa bersaing di pasar global,” kata dia.

Dadan menjelaskan saat ini pembiayaan energi fosil semakin diperketat, sementara pengembangan energi terbarukan makin pesat dan harganya pun makin murah terutama PLTS. Kementerian Energi menargetkan kapasitas PLTS atap mencapai 3.600 MW pada 2025 pasca revisi Peraturan Menteri Energi Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan PLTS Atap.

Pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat yang yang ingin memasang PLTS atap, antara lain ekspor listrik naik dari 65 persen menjadi 100 persen ke PLN, jangka waktu kelebihan listrik diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan dan waktu permohonan pembangkit tenaga surya atap dipersingkat menjadi 5-12 hari.

Dadan juga meluruskan sejumlah isu terkait implementasi PLTS atap. Pertama, bisnis PLN tidak dirugikan akibat ekspor listrik dari masyarakat. Penggunaan tenaga surya atap hanya berpotensi mengurangi sedikit penerimaan perseroan karena masyarakat bisa melistriki sendiri.

Dia mengatakan target 3.600 MW dilakukan secara bertahap, sehingga tidak signifikan mengurangi penerimaan PLN. “Terlebih sampai menyebabkan cashflow perusahaan listrik negara merugi.”

Di sisi lain, pemerintah terus mendorong creating demand untuk PLN seperti kawasan industri baru, smelter, kompor listrik, dan kendaraan listrik. Pengembangan PLTS atap juga akan mengurangi biaya bahan bakar per unit kWh sebesar Rp7,42 kWh dengan total nilai gas yang dihemat Rp4,12 triliun per tahun.

Isu kedua, lanjut Dadan, PLTS atap tidak akan menyebabkan pelanggan berburu keuntungan bisnis. "Motif tersebut akan sulit terjadi karena kapasitas PLTS atap dibatasi paling tinggi 100 persen dari kapasitas listrik pelanggan, sehingga tidak ada unsur berburu keuntungan. Pemasangannya juga hanya bisa di atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan dan tidak dibolehkan di lahan terbuka (ground mounted)," ujarnya.

Ketiga, selain tidak berdampak ke cashflow PLN, PLTS atap juga tidak menambah beban subsidi listrik dan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. Hasil perhitungan Kementerian Energi dengan ekspor PLTS atap sebesar 100 persen untuk menggantikan gas menunjukkan BPP naik Rp1,14 per kWh (0,08 persen), subsidi naik Rp0,079 triliun (0,15 persen), dan kompensasi naik Rp0,24 triliun (1,04 persen) dibandingkan ekspor 65 persen.

Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi pemerintah Rp54,15 triliun, namun dibayar pemerintah hanya Rp53,92 triliun. Hal ini akibat adanya pengurangan energi listrik yang dikonsumsi pelanggan PLTS atap, dengan nilai penghematan Rp0,23 triliun.

Keempat, PLTS atap tidak berdampak pada kestabilan sistem kelistrikan karena Kementerian akan memperhatikan kurva beban (duck curve) dan pola operasi yang dilakukan PLN.

Kelima, menurut Dadan, PLTS atap tidak semakin menyebabkan oversupply listrik dan mengakibatkan konsekuensi take or pay bagi PLN akibat potensi pasar listriknya berkurang.
"Apabila dibandingkan dengan perkiraan penjualan listrik PLN pada 2021 sekitar 261 TWh, maka potensi berkurangnya penjualan adalah 0,1 persen saja,” ujarnya.

Di sisin lain perseroan dapat melakukan upaya demand creation mengingat masih besarnya market listrik ke depan. Pengembangan PLTS atap juga dapat menjadi peluang bisnis PLN seperti menjual nilai karbon dari pelanggan selain industri dan bisnis.

Isu keenam, PLTS atap tidak mengakibatkan peningkatan subsidi listrik dan juga salah sasaran. Subsidi listrik pada APBN memang meningkat Rp0,08 triliun, namun terdapat banyak manfaat positif dari implementasi pembangkit tenaga surya atap atap yaitu mengurangi konsumsi bahan bakar gas 47 juta MMBTU per tahun; menyerap 121.500 tenaga kerja; serta meningkatkan investasi Rp45-63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp2,04-4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor impor.

Manfaat lainnya adalah mendorong green product sektor jasa dan green industry; menurunkan emisi gas rumah kaca 4,58 juta ton CO2e; dan mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS dengan semakin tingginya TKDN.

Ketujuh, soal PLTS atap mayoritas impor dan hanya menguntungkan negara produsen solar atap. Saat ini, memang industri PLTS belum 100 persen dilakukan di dalam negeri dan TKDN-nya pun masih 40 persen. Hal itu disebabkan pasar PLTS atap di Indonesia masih kecil.

Berita Lainnya