Keanekaragaman Hayati Indonesia kian Terancam

Hutan mangrove dan terumbu karang di Tanah Air terancam hilang. Pembangunan daerah harus meletakkannya dalam konteks keberlanjutan.

Tempo

Selasa, 29 Juni 2021

 Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati atau biodiversity terbesar di dunia dengan 552 kawasan konservasi seluas 22 juta hektar. Namun, Indonesia juga memiliki laju degradasi ekosistem yang sangat cepat seperti yang terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang.

“Indonesia sudah kehilangan hampir 50 persen kawasan mangrove. Juga seperti terumbu karang yang saat ini hanya 20 persen yang kondisinya baik. Maka bisa dibayangkan berapa banyak spesies, populasi dari organisme ekosistem ini yang bisa jadi hilang atau kualitasnya sangat rendah,” ujar pengamat perikanan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Rignolda Djamaludin, Senin, 28 Juni 2021.

Pernyataan tersebut disampaikan Rignolda dalam diskusi virtual bertajuk “Urgensi Keanekaragaman Hayati” yang diselenggarakan Tempo Media dalam Indonesia Forest Forum bekerja sama dengan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Diskusi dihadiri pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Hendra Yusran Siry, Sekjen KIARA Susan Herawati, Peneliti LIPI Rosichon Ubaidillah serta dimoderatori oleh Redaktur Tempo Ali Nur Yasin.

Di Indonesia, lanjut Rignolda, tempat-tempat yang sudah berstatus konservasi pun turut mengalami masalah serius. Dia mencontohkan, seperti Teluk Tomini yang berada di Pulau Sulawesi yang berstatus cagar alam namun tinggal menyisakan 10-15 persen saja.

“Kami berharap bahwa pengembangan infrastruktur menyentuh wilayah-wilayah yang kita jaga keanekaragamannya. Artinya, pembangunan suatu daerah harus diletakkan dalam konteks sustainability,” ucapnya.

Peneliti LIPI, Rosichon Ubaidillah, menyebut keanekaragaman hayati sangat vital bagi keberadaan manusia. Hal tersebut tak lain lantaran keanekaragaman hayati sudah dimanfaatkan sejak manusia hadir di bumi. “Semua keragaman kehidupan di bumi baik tumbuhan, binatang maupun mikroba dan tingkat gen, spesies dan tingkat ekosistem sangat penting  menopang dari jejaring dari sistem kehidupan itu sendiri, ataupun memberikan layanan langsung seperti sumber pangan, obat-obatan, energi, udara bersih,” ujarnya.

Menurut dia, manusia harus berpikir untuk menetapkan aksi konkret untuk mempelajari, mengkaji, meneliti untuk tujuan mengawetkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. “Salah satunya harus melakukan penelitian dan kajian keanekaragaman hayati pada tataran nilai produk,” tuturnya.

Rosichon mengatakan dengan teknologi baru atau bio engineering, yang bisa menghasilkan energi, biofarmaka, biokosmetika, agro product. “Ini nilainya jutaan dolar.”

Sekjen KIARA Susan Herawati, berharap ke depan kebijakan pemerintah mampu menjawab kegelisahan mengenai kondisi keanekaragaman hayati dan alam yang sedang kritis. “Kebijakan pemerintah belum komprehensif dalam melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia. Terumbu karang sudah habis, mangrove yang kekurangan luar biasa dan biodiversity lainnya. Banyak faktor, terutama akibat pembangunan. Kita juga menghadapi krisis iklim,” ujarnya.

Diketahui, saat ini pemerintah mempunyai payung hukum dalam melakukan penguatan upaya konservasi keanekaragaman hayati, seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi tiga hal. Pertama, konservasi SDI memiliki tiga aspek penting, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan SDI secara berkelanjutan. “Ketiga aspek tersebut saling terintegrasi dan saling berkaitan,” kata pelaksana tugas Dirjen Pengelolaan Ruang Laut, Hendra Yusran Siry.

Dia menjelaskan satu sisi melindungi biota yang terancam punah dan pada lain hal merupakan langkah positif untuk menjaga kelestarian sumberdaya perairan yang semakin menipis. “Sekaligus juga mendukung untuk mensejahterakan masyarakat di sekitarnya,” ujar Hendra.

Menurut Hendra, pemerintah untuk konservasi hutan mangrove sendiri ditargetkan mencapai seluas 32,5 juta hektar pada 2030. Upaya kesana salah satunya dengan pembuatan pusat rehabilitasi dan kesehatan pesisir.

“Di beberapa pantura Jawa, hilangnya hutan Mangrove ini bisa hilang 0,9-1,4 kilometer mundurnya garis pantai. Kami membuat pelindung untuk pemecah ombak untuk menanam kembali mangrove atau struktur yang memungkinkan agar benih-benih tersebut tumbuh dengan baik,” tutur Hendra.

Tim Info Tempo

Berita Lainnya